Jakarta (ANTARA News) - Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi punya dampak yang jelas, yakni harga-harga kebutuhan pokok ikut merangkak naik.

Dalam sistem ekonomi modern, terjadinya perubahan pada harga energi, dalam bentuk apapun, akan memengaruhi harga sektor komoditas lain.

Yang mengalami pukulan berat dalam setiap kenaikan arga BBM tentu kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.

Dalam hitungan pemerintah, kenaikan harga BBM dalam waktu ini, akan menaikkan jumlah orang miskin menjadi sekitar empat juta orang, dari sebelumnya 26 juta orang.

Pemerintah pun mencanangkan program untuk meringankan beban orang miskin sehubungan dengan kenaikan harga BBM bersubsidi itu.

Kali ini disebut bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM), menggantikan program serupa sebelumnya yang dikenal dengan bantuan langsung tunai (BLT).

Jumlahnya tentu tidak terlalu signifikan dan masa pemberian bantuan juga terbatas. Bagi kelompok warga miskin, apa yang akan terjadi saat masa pemberian BLSM itu sudah berakhir? Tentu, pemerintah tak mungkin ditagih untuk melahirkan lagi bantuan serupa untuk melanjutkan bantuan yang telah dihentikan itu.

Dengan perkataan lain, kelompok warga berpendapatan rendah itulah yang harus mencari solusi bagi diri mereka dan keluarga.

Sebagai makhluk sosial yang dikaruniahi kemampuan berpikir untuk sintas melangsungkan hidup, mereka tentu akan memilih hidup berhemat.

Kalau selama ini mereka sudah berhemat, penghematan yang lebih ketat lagi dituntut pada mereka.

Di kalangan ekonom prolingkungan, yang gerakannya disebut ekonomi hijau, ada satu petuah yang berbunyi begini: "dalam praksis ekonomi, yang penting bukan hanya perkara bagaimana mendapatkan pendapatan atau laba dengan modal yang terbatas, tapi bagaimana membelanjakan pendapatan yang diperoleh."

Petuah itu dikembangkan lebih jauh di kalangan para suami yang kritis memilih seorang istri. Mereka memegang prinsip baru bahwa seorang istri yang ideal adalah mereka yang sanggup memasak menu lezat dengan dana terbatas.

Intinya: dana terbatas dan penghematan adalah kunci kebahagiaan dalam hidup di zaman yang semakin menuntut kejelian, kegesitan dan kecerdasan ini.

Mereka yang tergolong kurang mampu secara finansial pun dituntut berhemat, hidup dengan berhati-hati, dan cerdas.

Fakta keseharian menunjukkan bahwa mereka yang hidup dalam garis prasejahtera sering bergaya hidup kurang "berhemat". Mari kita lihat contoh yang bisa ditemui di mana-mana, di ranah publik maupun privat.

Para kuli bangunan, para sopir angkutan umum, dan para pekerja kelas bahwa umumnya punya kegemaran menghabiskan sebagian pendapatan mereka untuk mengonsumsi rokok.

Bagi mereka yang pecandu berat nikotin, yang konon mengandung sekitar 200 jenis racum mematikan itu, mengeluarkan Rp10 ribu sehari untuk rokok adalah hal yang biasa.

Uang senilai itu dalam satu bulan sama artinya dengan dua kali nilai bantuan langsung yang hendak diberikan oleh pemerintah.

Jika mereka tidak mengonsumsi rokok, dalam sehari dia juga bisa membeli sekitar 1,5 kilo gram beras dengan kualitas sedang.

Jika uang itu dibelikan sayuran, atau buah-buahan, tentu anak-anak mereka akan mendapatkan kualitas kesehatan yang lebih baik.

Mereka perlu menjamin kesehatan bagi anak-anak mereka agar keturunan mereka dapat mencapai konsentrasi yang cukup untuk menyerap pelajaran di sekolah.

Dengan jalan itu pula maka ikhtiar untuk menaiki strata sosial dapat dilakukan oleh anak-anak mereka di masa mendatang.

Tragedi keluarga-keluarga miskin saat ini adalah hilangnya peluang memperoleh kesehatan prima dengan biaya gratis sebagaimana yang pernah diperoleh generasi dekade 70 ke bawah.

Di masa itu, ketika industri makanan olahan belum merambah ke kampong-kampung pedesaan, memperoleh secara gratis bahan pangan dari alam masih dimungkinkan.

Saat itu sungai-sungai masih bersih. Mengail ikan untuk lauk di rumah masih dimungkinkan. Saat itu juga lahan kosong masih luas.

Banyak pohon pagar yang menghasilkan sayuran yang bisa dipetik siapa saja. Pohon turi menyediakan bunga yang segar disantap dengan sambal.

Daun bluntas bisa dijadikan urapan yang maknyus disantap dengan sambal kelapa. Juga pohon kemlandingan yang menghasilkan petai-lamtoro.

Tapi saat ini semua itu sudah langka adanya. Semuanya harus diperoleh dengan mengeluarkan uang. Anak-anak dari keluarga miskin saat ini tak lagi bisa menikmati sayuran bervitamin yang penting bagi pertumbuhan anak-anak.

Sebagai gantinya, anak-aak sekarang lebih sering mengonsumsi mi instan, yang jika dikonsumsi dalam jangka waktu panjang bisa mendatangkan problem bagi organ pencernaan dan jaringan organ hati dan ginjal.

Masih ada satu soal yang bisa dilakukan saat ini bagi keluarga miskin dalam hidup berhemat. Mereka perlu mencontoh para penganjur gerakan pertanian urban yang mulai banyak dilakukan oleh kaum terpelajar dan sadar lingkungan. Apa itu? Mengusahakan apa yang disebut sebagai "urban farm".

Konsepnya sederhana: jangan buang jika anda punya ember rusak atau kaleng bekas. Isi peranti itu dengan sisa makanan atau sampah organis seperti daun kering yang gugur dari ranting pohon. Letakkan peranti itu di teras atau tempat sekitar rumah yang terpajan sinar matahari.

Taburkan biji cabe yang membusuk. Dalam waktu empat atau lima bulan, anda tak perlu kaget ketika harga cabe meroket di pasar.

Begitulah strategi sederhana yang bisa dilakukan oleh mereka yang berpendapatan rendah dalam menyiasati kenaikan harga BBM.

(M020)

Oleh M. Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013