Tantangan terberat bagi petani sawit Indonesia terletak pada ketelusuran, atau tracebility karena sebagian besar dari mereka bergantung pada pihak perantara dalam melakukan bisnis, sehingga melacak buah kelapa sawit hingga ke asalnya akan sulit dilak
Bali (ANTARA) - Sekretaris Jenderal Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) Rizal Affandi Lukman mengatakan bahwa kebijakan European Union Deforestasion-Free Regulation (EUDR) yang diberlakukan oleh Uni Eropa (UE) akan berdampak terhadap petani sawit Indonesia.
 
"Tantangan terberat bagi petani sawit Indonesia terletak pada ketelusuran, atau tracebility karena sebagian besar dari mereka bergantung pada pihak perantara dalam melakukan bisnis, sehingga melacak buah kelapa sawit hingga ke asalnya akan sulit dilakukan," kata Rizal pada Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2023 ke-19 di Bali, Jumat.
 
Ia mengatakan kebijakan EUDR yang diberlakukan UE pada 16 Mei 2023 lalu akan memberikan dampak signifikan terhadap petani sawit, sebab ada kesenjangan antara regulasi EUDR dan kondisi di lapangan yang dihadapi petani sawit sehari-hari.

Baca juga: KBRI, CPOPC gelar pertemuan bahas kesiapan hadapi implementasi EUDR

Regulasi tersebut memberlakukan benchmarking atau pengelompokan negara eksportir berdasarkan tingkat risiko deforestasi, yakni ‘Risiko Tinggi’, ‘Risiko Menengah’ dan ‘Risiko Rendah’.
 
Berdasarkan standard UE, Indonesia dinilai sebagai negara dengan penghasil komoditas yang memiliki risiko deforestasi tinggi, salah satunya melalui ekspor minyak kelapa sawit. Meskipun kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi deforestasi di berbagai negara, namun terjadi ketimpangan antara tuntutan UE dan regulasi di lapangan.
 
"Tanpa kehadiran EUDR, petani sawit Indonesia telah mengalami tantangan dan masih membutuhkan bimbingan dalam memenuhi kriteria keberlanjutan industri sawit karena manajemen kelompok tani yang belum terorganisir, kurangnya akses pada alat pertanian yang berkualitas, dan pendanaan," katanya.
 
Kebijakan EUDR, menurut dia, tidak hanya akan berdampak pada petani sawit di Indonesia, namun juga terhadap lebih dari tiga juta petani sawit di seluruh dunia.

Baca juga: Airlangga: Kerja sama jadi kunci capaian industri sawit berkelanjutan
 
CPOPC telah membentuk Joint Task Force atau gugus tugas dengan UE dalam menjembatani regulasi EUDR dengan kondisi petani sawit dunia, yang salah satu kegiatannya melalui smallholder workshop di Malaka untuk para petani dapat menyuarakan pendapat mereka terkait EUDR.
 
Sementara itu, Duta besar Indonesia untuk Belgia, Luxembourg, dan Uni Eropa Andri Hadi menyatakan jika hal ini terus berlanjut, petani sawit dari berbagai belahan dunia akan hilang dari rantai pasok.
 
"Melalui kebijakan ini, UE memang akan diuntungkan dengan mendapatkan harga yang stabil dari berbagai komoditas yang masuk ke wilayahnya, namun di sisi lain negara produsen akan dirugikan dengan berbagai kebijakan yang dibebankan,” ujar Andri.
 
Ia mengatakan petani sawit merupakan pilar yang penting dalam industri sawit di Indonesia karena kontribusinya yang berkisar di angka 41 persen atau ada sekitar 2,6 juta petani sawit Indonesia.

Baca juga: KBRI Brussel gelar diskusi amankan sawit dari regulasi Uni Eropa
 
Menurut dia, keberatan Indonesia terkait regulasi EUDR tidak dilandasi oleh penolakan terhadap konsep keberlanjutan, namun justru berhubungan dengan p ketimpangan antara regulasi EUDR dan kondisi di negara eksportir. Indonesia telah melawan deforestasi sejak lama dan dalam 4 tahun terakhir laju deforestasi Indonesia telah mengalami penurunan.
 
"Saya percaya tidak ada satu negara pun yang melakukan deforestasi secara sengaja. Oleh karena itu kita sejalan dengan negara lain dalam memerangi deforestasi,” kata Dubes.

Pewarta: Nur Amalia Amir
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2023