London (ANTARA) - Inisiatif Tata Kelola Kecerdasan Buatan Global yang diluncurkan oleh China akan diterima oleh komunitas global di saat berbagai negara berusaha untuk mengelola kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), ujar seorang akademisi asal Inggris.

"Prinsip-prinsip (dari inisiatif ini) diuraikan dengan baik. Unsur-unsur perlindungan hak asasi manusia, perlindungan data, cara kita menangani kolaborasi internasional, inklusivitas, dan menghindari bias tercakup dalam prinsip-prinsip ini," kata Madeleine Stevens, seorang dosen senior di Liverpool John Moores University, kepada Xinhua dalam sesi wawancara baru-baru ini.

Diluncurkan dalam Forum Sabuk dan Jalur Sutra untuk Kerja Sama Internasional ketiga yang digelar di Beijing pada 18 Oktober, inisiatif tersebut menyajikan pendekatan konstruktif untuk mengatasi kekhawatiran universal terkait pengembangan dan tata kelola AI.

"Inisiatif ini mencakup prinsip-prinsip yang luar biasa. Saya sangat berharap prinsip-prinsip dan inisiatif ini dapat diterima dan ditindaklanjuti," ujar Stevens.

AI sudah muncul sejak lama, tetapi "tingkat kemajuan AI yang kita hadapi saat ini memiliki tantangan fundamental yang menurut saya kita belum siap untuk menghadapinya," katanya menambahkan.

Saat ini, tidak ada panduan yang jelas di seluruh dunia maupun secara global tentang bagaimana AI harus dikelola, yang merupakan sebuah "risiko besar," kata Stevens.

Merujuk pada inisiatif baru China itu, pakar itu berujar: "Saya setuju bahwa ada baiknya kita memiliki titik awal tentang bagaimana kita harus atau setidaknya mempertimbangkan bagaimana kita harus mengelola AI."

Pendekatan yang berpusat pada manusia dalam pengembangan AI, sebagaimana diuraikan dalam inisiatif ini, merupakan fokus utama yang tidak boleh diabaikan, sambungnya.

"Ini merupakan prinsip yang bagus untuk dimasukkan ke dalam inisiatif tata kelola AI. Ini tentang melindungi hak asasi manusia dan tidak menggantikan elemen manusia yang membuat kita unik melalui perangkat lunak atau kecerdasan buatan generatif," ujarnya.

Dia juga menyambut baik inisiatif yang menentang penggunaan AI untuk memanipulasi opini publik, menyebarkan disinformasi, dan sebagainya.

"Kami tahu hal ini sudah terjadi pada para pemilih, pemilihan umum... Banyak hal yang dihasilkan oleh AI tidak akurat, dan ini menjadi risiko besar. (AI) melenceng," kata Stevens.

Dia memuji saran dari inisiatif China bahwa negara-negara maju harus membantu negara-negara berkembang untuk menjembatani kesenjangan dalam kapasitas AI.

"Saya pikir, ini merupakan saran yang bagus agar negara-negara maju memimpin dalam hal ini dan membantu lebih banyak negara berkembang dengan AI... Kita tidak bisa membiarkan ada negara yang tidak tercakup dan berada dalam risiko. Hal ini akan berdampak pada dunia secara global jika kita gagal menyertakan semua negara," imbuhnya.

"Menurut saya, ini inisiatif yang luar biasa, dan kita tidak punya pilihan. Kita harus sepenuhnya inklusif dalam pendekatan pengelolaan AI," ujar pakar tersebut.
 

Pewarta: Xinhua
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2023