... mengapa keluarga tak mampu menjadi benteng bagi seseorang untuk tidak melakukan korupsi, adakalanya tuntutan gaya hidup keluarga yang justru menjadi pendorongnya.
JAKARTA (ANTARA) - Pejuang pada masa lampau harus bertaruh nyawa untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan, hingga mereka kemudian disebut pahlawan.

Adapun pejabat pada masa sekarang hanya perlu bertarung melawan nafsu keserakahan dengan menjaga diri dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta menunaikan tugas yang seharusnya dilakukan sebagai abdi negara. Tak muluk-muluk yang masyarakat harapkan. Itu saja sudah cukup untuk kami nobatkan sebagai pahlawan di hati kami.

Mengabdi pada negeri sepenuh hati tanpa pamrih dan mengharap imbalan serta tidak mencuri uang rakyat atau anggaran negara merupakan standar minimal mental seorang pelayan masyarakat. Namun karena ramainya pelaku korupsi, mencari abdi negara dengan standar minimal pun bukan perkara mudah. Maka mereka yang memiliki standar minimal itu menjadi teramat istimewa di tengah kelangkaan stok orang jujur nan tulus.

Mengapa perilaku koruptif begitu sulit diberantas di negara kita? Padahal bangsa kita adalah masyarakat beragama, dengan tingkat religiusitas tinggi. Mengapa tingkat religiusitas masyarakat tidak berbanding sejajar dengan tegaknya moralitas? Anomali ini mungkin sulit dipahami, terlebih ketiadaan alasan pemaklum. Seperti kita memaafkan orang yang mencuri karena kelaparan, tetapi bagaimana cara memaklumi orang yang mencuri uang rakyat untuk berfoya-foya.

Meski penyakit korupsi tidak akan selesai jika hanya menjadi bahan diskusi atau gelar wicara, cara membasmi yang efektif tentu dengan terlebih dulu memahami akar permasalahannya. Mengapa orang yang memiliki jabatan cenderung menyeleweng, mengapa agama dan teori (hukum) karma tak cukup membendung syahwat manusia melanggar norma, mengapa keberadaan keluarga yang menjadi pertaruhan, tidak mampu membentengi seseorang dari perbuatan menyimpang?

Sejumlah pertanyaan semacam itu perlu dicari tahu jawabannya untuk memahami sedikit akar persoalan korupsi. Pakar antikorupsi Robert Klitgaard yang telah berpengalaman membantu program pemberantasan korupsi di 27 negara berkembang termasuk Indonesia, mencetuskan teori CDMA, di mana Corruption = Directionary + Monopoly – Accountability, menurutnya korupsi terjadi karena adanya faktor kekuasaan dan monopoli yang tidak dibarengi dengan akuntabilitas.

Pada suatu ketika berbicara mengenai kejahatan korupsi, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md pun pernah mengingatkan bahwa orang jahat bisa saja terbebas dari jerat hukuman dengan beragam cara menyiasatinya, namun tindakannya itu bisa membuatnya terkena karma di dunia.

“Orang yang beragama dan berbudaya pasti memercayai adanya karma, dosa, dan malu karena berbuat pelanggaran. Hal itu tergolong dalam hukuman otonom,” ujarnya.

Adapun pertanyaan mengapa keluarga tak mampu menjadi benteng bagi seseorang untuk tidak melakukan korupsi, adakalanya tuntutan gaya hidup keluarga yang justru menjadi pendorongnya.

Namun, apa pun yang menjadi pengaruh dan pendorong perbuatan korup, seseorang yang telah berusia dewasa--apalagi tua dan tidak tergolong orang gila--sudah barang tentu memiliki tanggung jawab otonom atas segala tindak perbuatannya.

 

Pemicu korupsi

Perburuan mencari “pahlawan” dari kalangan aparat pemerintahan yang tidak melakukan korupsi akan menjadi tantangan tersendiri di tengah gegap gempita kerja lembaga antirasuah yang nyaris tanpa jeda. Tanpa ikut serta menghakimi para penyalahguna kekuasaan demi uang, ada baiknya kita mempelajari faktor pemicu korupsi.

Keserakahan menjadi faktor yang paling menonjol dari terjadinya tindak korupsi. Karena tren korupsi masa kini bukan atas alasan keterdesakan ekonomi, melainkan untuk memuaskan hasrat hidup bermewah-mewah. Gaya hidup, hobi, dan gengsi adalah tiga serangkai yang membuat gaji tinggi terasa tak pernah mencukupi.

Nilai moral adalah benteng bagi seseorang untuk mencegahnya berbuat melenceng dari norma. Bila benteng itu rapuh, maka ia akan dengan mudah berbuat salah dan menganggap remeh konsekuensinya.

Keluarga, semestinya menjadi pengingat ketika kepala atau ada anggota keluarga melakukan perbuatan menyimpang. Ibarat satu rangkaian anggota badan, jika terdapat organ yang tidak beres maka seluruh tubuh akan merasakan sakitnya, begitu pun keluarga. Bila ada yang berbuat salah, seluruh anggota keluarga akan turut terkena dampaknya. Jadi, idealnya sesama anggota keluarga saling peduli dan menjaga, agar semua berjalan pada lintasan yang benar.

Namun nyatanya, banyak kasus korupsi terjadi justru karena dorongan dan tuntutan gaya hidup anggota keluarganya, seperti istri dan anak-anaknya yang sosialita. Biaya pergaulan sosialita seolah tak terbatas yang membuat nominal gaji kepala keluarga--berapa pun besarnya--tak mampu memenuhinya.

Sikap dan kondisi sosial masyarakat, bisa jadi juga menjadi pelestari perilaku koruptif. Seperti sikap masyarakat yang permisif terhadap koruptor dan mudah melupakan jejak kelamnya. Diizinkannya para mantan napi korupsi sebagai pejabat publik, misalnya, adalah salah satu contoh sikap permisif masyarakat terhadap koruptor.

 

Pencegah korupsi

Hakikat pemerintahan adalah pelayanan kepada rakyat. Masyarakat mengumpulkan uang dalam bentuk partisipasi membayar pajak yang dipercayakan kepada pemerintah untuk dikelola dan dikembalikan kepada warga dalam wujud pembangunan sarana prasarana umum.

Itulah mengapa tindak korupsi amat menyakiti hati masyarakat yang aktif dan patuh membayar pajak demi menjadi warga negara yang baik, dan tak semestinya masyarakat mudah memaklumi.

Kehadiran pejabat yang benar-benar bekerja, mendedikasikan diri pada pelayanan masyarakat, dan bersih dari penyimpangan, sungguh menjadi dambaan. Kita pun dengan bangga akan menyematkan gelar “pahlawan” pada sosok pujaan publik itu.

Namun untuk menghadirkan sosok-sosok pahlawan itu, tentu menjadi tanggung jawab kita bersama, mengingat adakalanya perilaku korup juga didorong oleh faktor eksternal. Semisal, kecenderungan warga mengambil jalan mudah dengan menyuap aparat untuk menebus sebuah pelanggaran. Atau bila kita memiliki anggota keluarga yang mengemban jabatan di pemerintahan, janganlah bersikap aji mumpung yang dapat menjerumuskan dia menyalahgunakan wewenang. Bisa jadi ada peran kita (warga) yang secara tidak langsung turut melahirkan koruptor.

Selain itu, ada beberapa hal yang dapat menjadi pencegah perilaku koruptif, di antaranya:

- Spiritualitas. Dalam hidup, apa pun agamanya, berlaku hukum karma. Sesungguhnya apa yang kita alami dan peroleh adalah karma kita sendiri, apakah itu nasib baik atau buruk, apakah keberuntungan atau musibah. Kita akan memetik dari apa yang kita tanam. Maka buatlah sebab yang baik untuk dapat memanen akibat yang baik pula. Sesederhana itu.

Bila setiap orang memahami hukum sebab akibat ini, seharusnya dapat berpikir beberapa kali untuk sanggup berbuat korup. Karena anak-anak yang diberi makan dari harta tidak bersih, akan tumbuh menjadi anak yang sulit dididik, nakal, dan bisa mencelakakan orang tuanya. Itu hanya contoh sebagian akibat yang bisa dialami.

- Sanksi keras. Hukuman bagi para napi korupsi di negara kita umumnya belum mampu membuat pelaku jera sehingga berlaku teori model cost-benefit. Menurut teori ini, korupsi terjadi jika manfaat korupsi yang didapat/dirasakan lebih besar dari biaya/risikonya (nilai manfaat bersih korupsi). Kombinasi dari penjatuhan pidana tinggi disertai penyitaan harta pelaku atau dimiskinkan dengan sistem denda yang besar, mungkin akan membuat orang pikir-pikir untuk melakukan korupsi.

- Pengawasan. Padahal ada Tuhan Maha Pengawas, tak ada sedikit pun suatu perbuatan yang dapat luput dari pengawasan-Nya. Namun manusia cenderung lebih takut pada pengawas yang tampak terlihat sehingga untuk menekan angka korupsi dibutuhkan sistem pengawasan berlapis baik internal maupun eksternal.

- Sistem. Banyak kasus korupsi justru berlangsung secara sistematis yang melibatkan banyak orang dalam satu entitas secara berjamaah. Dalam teori willingness and opportunity to corrupt, disebutkan bahwa korupsi terjadi jika terdapat kesempatan/peluang (kelemahan sistem, pengawasan kurang, dan sebagainya) dan niat/keinginan (didorong kebutuhan dan keserakahan).

Maka pembenahan sistem mutlak dibutuhkan untuk mempersempit celah tindak koruptif. Sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) yang tengah dikembangkan oleh Pemerintah adalah langkah revolusioner dalam transformasi birokrasi dari tradisional menuju ke efisiensi, transparansi, dan partisipasi publik yang lebih besar.

Dengan terpenuhinya faktor-faktor pencegah korupsi di atas, ikhtiar mewujudkan birokrasi bersih bukan pekerjaan yang berat. Dan, dalam sistem yang terbangun itu maka menemukan birokrat jujur tak perlu lagi melalui sayembara pencarian pahlawan karena saking langkanya.










 

Copyright © ANTARA 2023