Jangan biarkan ia terpaksa selalu mengalah, agar rumah senantiasa menjadi tempat pulang yang ia rindukan. Karena bakal menjadi awal petaka bila ayah mulai pulang ke tempat lain.
JAKARTA (ANTARA) - Bila negara memiliki pahlawan nasional yang tiap tahun pada 10 November dianugerahi penghargaan, dalam keluarga juga punya sosok pahlawan bernama ayah. Sayangnya, perlakuan sosial kerap menomorduakan eksistensinya, sementara tuntutan peran terhadapnya begitu tinggi dengan tingkat apresiasi cenderung rendah. Hari Ayah Nasional yang diperingati pada 12 November sejak 2006 silam menjadi titik balik untuk memperbagus perlakuan kita terhadap ayah, agar dia tak lagi merasa menjadi nomor dua.

Tanpa kita sadari, banyak perlakuan publik terhadap ayah yang terasa kurang adil untuknya. Semisal, dalam pemberitaan tentang peristiwa peperangan atau kekerasan massal, yang selalu ditonjolkan dan disayangkan adalah jumlah korban dari kalangan wanita (ibu) dan anak-anak. Apakah lantas kematian para ayah di sana tidak masalah?

Kita harus memandang setara bahwa semua manusia (ibu-ibu, anak-anak, bapak-bapak) tidak boleh mati sia-sia dalam suatu konflik massal, di mana mereka merupakan warga tidak berdosa.

Kematian para ibu dan anak-anak tentu sangat memilukan, sementara kematian para ayah akan meninggalkan duka mendalam bagi istri dan anak-anaknya. Mereka menjadi janda dan yatim atas kepergian seorang ayah, yang menjadi tumpuan dan tulang punggung keluarga.

Kemudian, dalam sebuah keluarga peran ibu dan ayah sama pentingnya. Meski ada dalil agama menganjurkan untuk menghormati ibu hingga diulang tiga kali, baru kemudian ayah, bukan berarti derajat penghormatan terhadap ayah boleh lebih rendah. Kita bisa memuliakan ibu dan menghormati ayah dalam waktu bersamaan, tanpa perlu membedakan dengan terlalu melebihkan yang satu dan mengurangkan yang lain.

Sosok ibu begitu dimuliakan (salah satunya) karena fungsi keibuan dalam mengandung, melahirkan, dan menyusui. Ayah memang tidak dikodratkan untuk mengalami tiga hal itu, namun memiliki tanggung jawab berat lain yang dia pikul sepanjang hayatnya. Tanggung jawab sebagai imam dan pemimpin bagi anggota keluarga, mencari nafkah dan memastikan kesejahteraan istri serta anak-anaknya, termasuk sebagai pelindung atas keamanan mereka.

Sebagai pemimpin, tak jarang seorang ayah harus mengorbankan banyak hal, tidak hanya materi tetapi juga emosi dan ego. Sebagaimana telah menjadi rahasia umum bahwa membimbing wanita dalam hal ini istri bukan perkara mudah karena sifat perempuan lebih sering mengedepankan perasaan ketimbang pikiran, yang membuat suasana hatinya relatif mudah berubah.

Maka dalam menjaga kedamaian rumah tangga, seorang ayah dituntut tangguh seperti warga kota yang harus tahan terhadap segala perubahan cuaca termasuk cuaca ekstrem maupun anomali cuaca. Ketika ibu (istri) sedang mengomel deras, itu serupa cuaca buruk.

Belum lagi ketangguhan ayah juga diuji dengan sifat anak-anaknya yang beragam, namun mereka harus diayomi hingga semua merasa damai dalam perlindungan ayah. Karena tuntutan peran ayah yang begitu kompleks, sehingga barometer kehebatan ayah (seolah) dilihat dari seberapa mengalahnya dia kepada anak istri.

Ayah juga seorang manusia yang mempunyai kelemahan. Sementara peran dia sebagai kepala keluarga kerap “tidak mengizinkan” untuk memperlihatkan kelemahannya. Semisal, seorang ayah yang tengah menghadapi masalah berat di kantor atau perusahaannya, tidak mungkin ia pulang dan berkeluh kesah atau menangis di hadapan anak istrinya. Jarang ayah mau mengungkapkan beban pikiran atau kesedihannya kepada anggota keluarga yang dicintainya. Kelelahan lahir batin itu dia simpan dan tanggung sendiri, demi anak istri tetap dalam kegembiraan.

 

Banggakan dia

Sikap terlalu mengutamakan ibu (saja) dalam rumah, tanpa sengaja dapat membuat posisi ayah tersisih. Kadang ayah diperlakukan layaknya ATM hidup, yang hanya dituntut mencari uang dan uang. Sementara keletihan raga dan kelelahan hatinya, kerap luput dari perhatian anggota keluarga. Bisa jadi jiwanya berada dalam lorong yang sepi di tengah gelak tawa anak istrinya.

Agar kesepian ayah tak berkelanjutan, meminjam momen Hari Ayah Nasional ini mari membuat langkah-langkah kecil untuk membuat ayah bahagia. Bikin dia bangga, apa pun profesinya. Bila dia seorang:

- Petani, buruh, pedagang kecil atau pekerja nonformal lainnya. Tunjukkan bahwa kamu tidak malu memiliki ayah seperti dia, besarkan selalu hatinya. Yakinkan, apa pun profesi dia sama sekali tak mengurangi rasa hormatmu    kepadanya. Selama dia bekerja jujur dan mencari nafkah yang halal, ayah adalah pahlawan keluarga.

Sesekali ajak ayahmu ke momen perayaan seperti acara ultah, pernikahan, atau wisuda. Gandeng tangan dia di hadapan orang-orang tanpa rasa canggung, agar ia tak pernah berkecil hati atas keadaan dan pekerjaan yang digelutinya.

- Guru, dokter, petugas damkar, wartawan, atau profesi lain yang menuntut dedikasi tinggi. Semangati dia untuk selalu menunaikan tugas sepenuh hati, karena pekerjaan yang dia lakukan merupakan ladang ibadah. Bermanfaat bagi orang banyak dan menolong mereka yang sakit, kesusahan atau terkena musibah. Sampaikan bahwa kalian (anak-anak) tidak berharap uang banyak, melainkan sudah cukup bangga dengan pekerjaan mulia yang ayah lakoni.

- ASN, birokrat, pejabat pemerintah. Dukung ayahmu menjadi abdi negara yang bersih. Jangan banyak menuntut, apalagi aji mumpung memanfaatkan jabatan orang tua untuk kepentingan menyimpang. Beri ruang bagi ayahmu untuk bercerita mengenai kesulitan dan keluh-kesahnya dalam dunia kerja, agar ia tak merasa menanggung semua beban sendirian. Juga supaya orang rumah mengetahui seluk-beluk pekerjaan kepala keluarga, untuk mengawal sekaligus memastikan bahwa ayah masih berjalan pada koridor yang benar.

Jangan lupa puji kinerja dia dan beri apresiasi atas pengabdiannya pada bangsa dan negara. Bikin ayah merasa berarti, berapapun besaran gaji yang dia bawa pulang. Dengan begitu anggota keluarga telah menjaga dia dari godaan korupsi.

 

Selagi dia ada

Seberapa tampak gagah seorang ayah, jangan lupa dia juga manusia, adakalanya lemah dan kadang rapuh. Izinkan dia tampil apa adanya di hadapan anak istri. Barangkali, dia sempat capek mengenakan “topeng” keperkasaan di lingkungan kerja.

Orang rumah, jadilah kalian penawar rasa lelahnya. Jangan biarkan ia terpaksa harus selalu mengalah. Agar rumah senantiasa menjadi tempat pulang yang ia rindukan. Karena bakal menjadi awal petaka, bila ayah mulai pulang ke tempat lain.

Walau tidak melahirkan, beban tanggung jawab ayah tidaklah ringan. Maka ia pun berhak atas penghormatan yang sama, sebagaimana anak-anak memuliakan ibunya.

Negara telah memuliakan posisi ibu dengan penetapan Hari Ibu melalui Keppres No. 316 Tahun 1959 bersamaan dengan peringatan ulang tahun ke-25 Kongres Perempuan Indonesia. Tahun 2004 atau 45 tahun kemudian, kita baru menyadari belum ada momen peringatan untuk menghormati sosok dan peran ayah.

Bermula dari kegiatan memperingati Hari Ibu oleh paguyuban lintas agama dan budaya bernama Perkumpulan Putra Ibu Pertiwi (PPIP) di Surakarta, Jawa Tengah  pada 22 Desember 2004. Kala itu perayaan Hari Ibu dimeriahkan dengan lomba menulis surat untuk ibu. Di antara peserta ada yang mempertanyakan kapan lomba serupa diadakan untuk ayah, maksudnya lomba menulis surat untuk ayah.

Sontak seisi forum itu tersentak karena baru menyadari selama ini tidak ada peringatan hari ayah. Setelah melalui proses kajian yang panjang termasuk audiensi PPIP dengan DPRD Surakarta, dua tahun berselang digelarlah deklarasi penetapan Hari Ayah Nasional pada 12 November 2006 di Pendapi Gede Balai Kota Solo. Melalui jaringan PPIP, deklarasi serupa juga digelar di Maumere dan Flores Nusa Tenggara Timur.

Meski terbilang terlambat, setidaknya adanya peringatan Hari Ayah Nasional menjadi angin segar bagi para ayah di Indonesia untuk memperoleh kesetaraan penghormatan di ranah publik.

Terlepas ada atau tidaknya peringatan Hari Ayah, sosok ayah adalah panutan dan pahlawan bagi anak-anaknya. Ayah menjadi tempat pelarian dan berlindung ketika terjadi “cuaca buruk” di rumah. Ayah tak mengenal kata “tidak” --saat kita mengajukan permintaan--demi melihat raut gembira anak-anaknya.

Jika ayah kalian sekarang masih hidup, segera hampiri dia, dekap erat, dan bisikkan padanya, ”Aku sangat menyayangimu, Ayah…"

Lakukan dan jangan ditunda, selagi ayahmu masih ada!









 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023