Banda Aceh (ANTARA) - Seorang gadis muda didandani layaknya pengantin baru, mengenakan mesikhat pakaian adat Suku Alas, yang dominasi corak warna merah. Ia duduk menjulurkan kaki di sepetak tempat yang didesain seperti pelaminan.

Tiga orang di sisinya sibuk melukis inai di tangan dan kakinya. Seorang lagi, tak henti-henti melantunkan syair dengan nada pelan dalam bahasa Suku Alas, sembari kedua tangannya menggiling daun-daun pacar di atas batu giling.

Mereka mewakili Kabupaten Aceh Tenggara sedang mengikuti lomba boh gaca (melukis inai) antardaerah dalam rangka pergelaran Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8 di Museum Rumoh Aceh.

Boh gaca ini adalah salah satu tradisi dalam adat perkawinan di Aceh,” kata budayawan Aceh Irma Yani Ibrahim.

Gaca dalam bahasa Indonesia berarti inai. Gaca berasal dari sari daun pacar yang digiling halus menggunakan batu giling. Tradisi boh gaca di tengah masyarakat Aceh biasanya dijumpai saat acara perkawinan dan sunat rasul atau khitan.

Jika dilihat dari sejarah, tradisi boh gaca di Aceh erat hubungannya dari budaya India, karena Aceh pada zaman lampau merupakan persimpangan jalur perdagangan rempah dunia, sehingga banyak saudagar dari penjuru dunia menyinggahi Aceh.

Ada dari negara Arab, India dan beberapa negara lain. Hal ini yang memicu terjadinya asimilasi budaya di daerah Tanah Rencong itu. Salah satunya seperti tradisi boh gaca, yang hingga kini masih lestari di tengah masyarakat.

Kendati demikian, segala sesuatu adat dan budaya di Aceh berlandaskan ajaran Islam. Boh gaca juga menjadi tradisi sakral yang diawali dengan shalawat, doa, lalu peusijuek atau tepung tawar adat Aceh, baru kemudian memakaikan dan melukis inai di tangan hingga kaki pengantin.

Tujuan boh gaca ini untuk keindahan, supaya cantik, indah, agar pengantin terlihat berbeda dengan hari-hari biasa, ujar Irma.
Kontingen Pidie Jaya menggiling daun pacar saat mengikuti lomba boh gaca (melukis inai) di Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke 8 di Banda Aceh. (ANTARA/Khalis Surry)


Aceh memiliki banyak etnis, dengan keragaman budaya. Daerah di Tanah Rencong memiliki tradisi boh gaca yang berbeda-beda. Setiap daerah memiliki motif ukiran yang khas masing-masing, dan hampir semuanya memiliki hak paten.

Di antara motif itu adalah motif rumpun biluluk asal Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), pucuk daun nilam dari Aceh Jaya, motif Bungong Ue (bunga kelapa) dari Kota Sabang dan banyak lainnya. Bahkan sebagian dari motif-motif tersebut sudah masuk dalam warisan budaya tak benda (WBTB).

Lazimnya boh gaca hanya untuk pengantin perempuan. Mulai dari jari tangan, kaki dan telapak kaki, lengkap dengan ukiran-ukiran motif khas. Di beberapa daerah, pengantin pria juga dipakaikan inai. Mulai dari tiga jari saja seperti jempol, tengah, dan kelingking. Ada juga daerah yang hanya jempol saja.

Tak hanya untuk keindahan, boh gaca juga dipercayai memiliki khasiat sebagai antiseptik dan baik untuk kesehatan. “Antiseptik yang luar biasa. Jadi itu perlu kita ingatkan dan kita lestarikan,” ujar Pengurus Majelis Adat Aceh (MAA), Nur Asma.

Di sisi lain, boh gaca juga menjadi tradisi tempat berkumpul keluarga. Biasanya sembari melukis inai, pengantin juga mendapatkan siraman nasihat dari orang yang dituakan lewat lantunan syair-syair. Umumnya tentang pernikahan, sebagai bekal pengantin baru dalam menghadapi lembaran hidup ke depannya.

Keragaman

Kepala Bidang Adat Istiadat MAA Aceh Barat Daya, Syeh Sabirin, menyebut tradisi boh gaca masih terawat dengan baik di tengah masyarakat setempat. Bahkan, apabila belum menjalankan tradisi boh gaca, maka upacara adat perkawinan dinilai belum lengkap.

Di daerah itu, tradisi boh gaca biasanya pada acara perkawinan dan sunat rasul. Untuk pengantin perempuan, inai dipakaikan di semua bagian tangan dan kaki, lengkap dengan ukiran. Untuk pengantin laki-laki, hanya jari jempol, tengah dan kelingking.

Berbeda dengan pengantin sunat rasul. Seorang anak laki-laki yang akan disunat juga menggunakan inai di semua jari tangan dan kaki, sama seperti pengantin perempuan. “Untuk motif kita mengadopsi rumpun biluluk, ditambah beberapa ukiran lain,” ujarnya.

Bagi masyarakat Aceh Barat Daya, boh gaca bukan hanya untuk keindahan semata. Mereka juga mempercayai tradisi itu sebagai sanggamara dari hal-hal negatif, agar pengantin baru tersebut terlindungi dari gangguan supranatural.

Boh gaca juga disebut dapat menyerap racun atau toksin dalam tubuh. Tandanya, apabila gaca yang telah diukir di kaki berwarna hitam, maka di tumbuh dia banyak zat racun, toksin. Tapi kalau merah muda, maka di tubuhnya normal. Jadi gaca ini jadi sebagai penawar juga, ujar Sabirin.

Sama dengan daerah lainnya, tradisi ini diawali dengan doa, shalawat, peusijuek, dan boh gaca. Biasanya, tradisi boh gaca dilakukan saat malam hari, selama tiga malam berturut-turut.

Daun pacar yang digiling juga tidak sembarang, memiliki ketentuan tertentu. Batu giling daun pacar juga harus dilapisi tujuh kain dan daun pisang. Tentu syarat-syarat ini memiliki makna tersendiri bagi masyarakat lokal.

Harapan kita boh gaca ini terus dilestarikan dan diwariskan pada generasi muda, jangan terpengaruh oleh budaya luar, ujar Syeh Sabirin.
Kontingen Kabupaten Aceh Barat Daya saat mengikuti lomba boh gaca (melukis inai) di Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke 8 di Banda Aceh. (ANTARA/Khalis Surry)

Pengaruh luar

Budayawan Irma Yani Ibrahim menyebut tradisi boh gaca di Aceh mulai terpengaruh budaya luar. Banyak budaya Aceh yang sudah berubah karena perkembangan zaman, dan masuknya budaya asing.

Kini, banyak masyarakat yang menggunakan henna instan. Tidak lagi menggunakan daun pacar asli dari pohon yang ditanam di Aceh. Saat pembuatannya pun, masyarakat mulai meninggalkan tradisi adatnya, selayaknya tradisi boh gaca.

“Sekarang orang banyak pakai henna instan, tidak ada proses adat, yang penting bagi mereka ada hennanya. Tidak hanya henna India, tapi ada henna warna putih yang memang sudah jauh dari tradisi kita,” ujarnya.

Sebab itu, Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) menjadi momentum yang sangat penting untuk melahirkan pahlawan-pahlawan baru dalam upaya melestarikan dan memperkenalkan budaya kepada generasi muda, salah satunya seperti tradisi boh gaca.

Apalagi Aceh juga telah memiliki sekitar 67 warisan budaya tak benda, mulai dari bentuk tarian, kuliner, tradisi, motif, dan lainnya, ujar Irma.

Kepala Bidang Sejarah dan Nilai Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh Evi Mayasari menyebut lomba boh gaca menjadi upaya pemerintah untuk merawat dan melestarikan eksistensi kebudayaan Aceh di tengah masyarakat.

Pemerintah tentu memiliki tanggung jawab untuk melestarikan adat dan istiadat di Aceh. Oleh sebab itu, pihaknya terus melakukan pembinaan di kabupaten/kota, terutama dalam menggalakkan pendokumentasian dan inventarisasi seluruh karya budaya di masing-masing daerah.

Upaya tersebut dilakukan setiap tahun melalui pokok-pokok pikiran kebudayaan (PPKD), mulai dari inventarisasi data-data kebudayaan, sekaligus implementasi di tengah masyarakat.

Untuk pelestarian motif, pihaknya telah menyusun buku tentang beragam motif khas Aceh. Buku ini diharapkan menjadi panduan bagi daerah dalam merawat motif Aceh, agar tidak tergerus dan tergantikan dengan motif-motif luar.

Tradisi boh gaca juga sedang dipersiapkan untuk diusulkan menjadi WBTB. Maka sudah sepatutnya, masyarakat di daerah Serambi Mekkah itu untuk terus merawat tradisi yang sudah turun-menurun dari masa ke masa.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023