Kudus (ANTARA News) - Sabilla Yasarah, salah satu peserta audisi umum beasiswa bulu tangkis PB Djarum, mengaku menekuni bulu tangkis untuk menghilangkan trauma tsunami Aceh tahun 2004.

Sabilla datang dari kota paling ujung pantai Sumatra, Meulaboh, untuk mewujudkan mimpinya menjadi pebulutangkis profesional seperti idolanya Ratchanok Inthanon dari Thailand.

"Salah satu motivasi untuk berkiprah lebih baik lagi di bulu tangkis. Saya mau bawa nama Aceh, karena saat ini atlet bulu tangkis dari Aceh juga jarang," kata atlet kelahiran 8 Juli 2002 itu, Jumat.

Ia mulai berlatih bulu tangkis sejak usia tujuh tahun dan telah menjuarai berbagai gelar kategori usia dini termasuk juara satu Li Ning Open 2012 di Batam, juara dua Hiqua Open, juara satu PDAM Cup, juara tiga Kapolda Cup tingkat remaja, dan masih banyak lagi.

Ayahnya, M. Yanis, adalah pelatihnya yang bersama rekannya membangun klub Teuku Umar untuk anak-anak Meulaboh yang rata-rata mengalami trauma tsunami.

Klub tersebut awalnya dari lapangan satu petak, lalu berkembang menjadi GOR.  Meulaboh yang sangat dekat dengan laut ini saat itu hancur 89 persen dan menyisakan trauma besar, terutama bagi anak-anak.

Sabilla mengaku masih ketakutan jika ada hujan, petir dan angin kencang. Saat terjadi tsunami, sembilan tahun silam, ia masih berusia 2 tahun.

Ibunya, Inong, menuturkan saat itu Sabilla terbawa air dan ditemukan sore hari dalam air sudah tidak berpakaian. Sedangkan kedua kakaknya ditemukan dua hari kemudian di laut.

"Untuk mengobati masa lalu, kami beri dia kesibukan dengan latihan bulu tangkis enam kali dalam seminggu. Biasanya usai latihan dia capek dan langsung tertidur lelap. Kalau dulu dia tidak bisa ditinggal sendiri karena sering ketakutan. Ternyata dia jadi benar-benar suka bulu tangkis," jelas Inong yang mengantar Sabilla seorang diri.

"Bulu tangkis itu unik, semua anggota tubuh bergerak mengikuti arah bola," tutur Sabilla.

Anak ketiga dari tiga bersaudara itu akhirnya mengukir mimpi menjadi atlet bulu tangkis dan mengadu nasib bersama ribuan peserta. Ia menjadi salah satu peserta dari lokasi terjauh.

Dia berharap bisa menorehkan prestasi hingga kancah internasional seperti Tontowi Ahmad, Mohammad Ahsan, Dionysius Hayom Rumbaka, dan banyak lagi.

"Karena kalau hanya di Aceh saja sulit untuk maju. Di sana pertandingan minim," ujar dara yang baru lulus Sekolah Dasar itu.

Untuk menjadi atlet, lanjut dia, harus memiliki mental kuat, sementara mental dipengaruhi jam terbang di pertandingan, padahal di kampung halamannya pertandingan tidak banyak.

"Kami harus ke luar kota dan menghabiskan biaya besar untuk mengikuti pertandingan. Orang tua juga harus aktif mencari informasi," kata Inong.

Oleh Monalisa
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2013