Beijing (ANTARA) - Pemerintah China tetap yakin perekonomiannya pulih dan berjalan stabil meski lembaga pemeringkat keuangan Moody's mengurangi prospek kredit negeri Tirai Bambu tersebut.

"Saya ingin menekankan bahwa sejak awal tahun ini, perekonomian makro China telah mengalami pemulihan yang berkelanjutan dan kemajuan yang stabil dalam pembangunan berkualitas tinggi," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Wang Wenbin dalam konferensi pers rutin di Beijing, China pada Rabu.

Lembaga pemeringkat Moody's Investors Service menurunkan prospek obligasi China dari stabil menjadi negatif namun tetap mempertahankan peringkat jangka panjang A1 pada obligasi pemerintah.

Alasannya adalah penggunaan stimulus fiskal untuk mendukung pemerintah daerah dan sektor properti yang memburuk menimbulkan risiko bagi perekonomian negara tersebut.

"Penggerak pertumbuhan baru perekonomian China mulai membuahkan hasil. China mampu memperdalam reformasi ekonomi dan mengatasi risiko maupun tantangan," tambah Wang Wenbin.

Menurut Wang Wenbin, beberapa lembaga internasional baru-baru ini juga merevisi prediksi mereka mengenai pertumbuhan ekonomi China pada 2023.

"Mereka menyatakan optimisme terhadap kekuatan pendorong internal, ketahanan dan potensi ekonomi China. IMF dan OECD merevisi perkiraan pertumbuhan China pada 2023 masing-masing menjadi 5,4 persen dan 5,2 persen," ucap Wang Wenbin.

Wang Wenbin menyebut China mempunyai dasar yang kuat untuk menopang pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.

"Kami memiliki kepercayaan diri dan kemampuan untuk mewujudkan pembangunan jangka panjang yang stabil. Kekhawatiran yang diungkapkan oleh Moody’s terhadap prospek perekonomian China dan keberlanjutan fiskal tidak diperlukan," ujar Wang Wenbin.

Ia pun menegaskan bahwa China masih menjadi tujuan investasi terbaik.

"Sebutan bahwa 'China berikutnya, tetaplah di China' itu nyata. Kami mengundang dunia usaha dari seluruh dunia untuk berinvestasi dan memupuk kesuksesan di China," tutur Wang Wenbin.

Dalam laporannya, Moody's mengatakan perubahan penilaian dilakukan seiring dengan melemahnya sektor properti di China yang memicu peralihan ke arah stimulus fiskal, sehingga China meningkatkan pinjamannya sebagai langkah utama untuk meningkatkan perekonomian. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran mengenai tingkat utang negara sebab China berada pada jalur rekor penerbitan obligasi pada tahun ini.

Perekonomian China disebut kesulitan mendapatkan pijakan pada tahun ini karena pemulihan dari kebijakan pembatasan "COVID Zero" terbukti lebih lambah dari yang diperkirakan. Hal tersebut diperparah dengan krisis sektor properti.

Berdasarkan data, aktivitas manufaktur dan jasa menyusut pada November 2023. Hal ini memperkuat keyakinan bahwa pemerintah China memerlukan tindakan yang lebih banyak untuk mendukung pemulihan yang terhenti.

Moody's menyebut pada Oktober 2023, Presiden China Xi Jinping memberi isyarat terjadi perlambatan pertumbuhan yang tajam dan risiko deflasi lantaran pemerintah meningkatkan defisit anggaran utama sekaligus menjadi yang terbesar dalam tiga dekade.

Rasio defisit terhadap PDB ditetapkan menjadi 3,8 persen pada 2023, jauh di atas batas yang telah lama ditetapkan yaitu sebesar 3 persen. Revisi ini memungkinkan pemerintah pusat menjual 1 triliun yuan (sekitar Rp2.164 triliun) lebih banyak obligasi dalam setahun untuk mendukung bantuan bencana dan konstruksi. Pemerintah daerah juga menjual obligasi refinancing khusus untuk menukar sebagian utang di luar neraca dengan biaya lebih tinggi.

Fitch Ratings juga menuturkan mungkin akan mempertimbangkan kembali peringkat kredit negara A+ China sementara S&P Global Ratings mempertahankan peringkat kredit China di A+ dengan prospek stabil sejak penurunan peringkat terakhir pada 2017.

Baca juga: China perkuat langkah keringanan pajak dan biaya untuk topang bisnis
Baca juga: IHSG ditutup melemah seiring pasar cermati data ekonomi China
Baca juga: PMI sektor manufaktur China turun tipis pada November 2023

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2023