Perubahan iklim bukan hanya mengancam kesehatan planet, tetapi juga kesejahteraan masyarakat dan perekonomian.
Jakarta (ANTARA) - Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Vivi Yulaswati menyatakan perubahan iklim mengancam kesehatan planet dan kesejahteraan masyarakat serta perekonomian.

“Perubahan iklim bukan hanya mengancam kesehatan planet, tetapi juga kesejahteraan masyarakat dan perekonomian. Ini bukan sekadar masalah lingkungan, melainkan persoalan pembangunan yang kompleks dan saling terkait,” ujar Vivi pada Seminar Transforming to Inclusive Green Economy Development Framework Towards Net Zero Emissions yang diselenggarakan di Paviliun Indonesia COP28 United Arab Emirates (UAE), Senin (4/12), dikutip dari keterangan tertulis, di Jakarta, Kamis.

Dalam kesempatan tersebut, dia menyoroti urgensi transformasi ekonomi hijau yang inklusif untuk mewujudkan Pembangunan Rendah Karbon (PRK). Pembahasan ini sejalan dengan pernyataan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang pemanasan global yang berdampak serius pada peningkatan suhu global sebesar 1,1 derajat celcius dan emisi gas rumah kaca.

Menimbang fakta tersebut, Indonesia memasukkan PRK dan ketahanan iklim dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, dan menjadikan penurunan emisi sebagai target konkret pembangunan berkelanjutan.

"Saat ini, kami fokus pada ekonomi yang ramah lingkungan. Pertumbuhan ekonomi berkualitas tidak dapat dicapai tanpa menjaga lingkungan. Melalui kebijakan ekonomi hijau, Indonesia diharapkan dapat mencapai rata-rata PDB (Produk Domestik Bruto) 6,22 persen hingga 2045, mengurangi emisi setara CO2 (karbondioksida) 86 juta ton, dan menciptakan 1,8 juta lapangan kerja ramah lingkungan,” ujarnya lagi.

Dia menggarisbawahi bahwa kebijakan ekonomi hijau bukan hanya tentang mencapai net zero emission emisi pada tahun 2060, tetapi juga terkait pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, menjadikan Indonesia sebagai negara maju.

Peran penting pangan biru (pangan yang berasal dari perairan) dalam keamanan pangan dan gizi, sekaligus menjadi pijakan mata pencaharian dan budaya masyarakat pesisir dan sungai turut menjadi pembahasan pada pertemuan tersebut.

Pada tahun 2050, diprediksi jumlah penduduk dunia akan meningkat hingga mencapai total 10 miliar, sehingga dibutuhkan pasokan pangan lebih besar.

Berdasarkan analisis World Resources Institute (WRI) United Nations (UN), dunia membutuhkan tambahan pasokan pangan lebih dari 56 persen. “Namun, jika hanya mengandalkan pertanian daratan, lahan dunia sudah terbatas dan tidak mungkin diperluas. Untuk itu, Pangan Biru menjadi solusi masalah ini,” ujar dia lagi.

Agenda Biru Nasional merupakan salah satu fokus yang sedang diimplementasikan Indonesia dan sudah menjadi bagian target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

“Ini tidak hanya dapat menjadi contoh kegiatan untuk semua negara di dunia dalam menangani sektor maritim dengan melibatkan banyak pihak, namun juga solusi untuk mengatasi masalah pengelolaan sumber daya laut secara berkelanjutan,” kata Vivi.

Sebagai langkah awal pengembangan dan transformasi sistem pangan akuatik, Kementerian PPN/Bappenas akan melaksanakan Penilaian Status Pangan Akuatik (Blue Food Assessment) tingkat Nasional bersama mitra pembangunan.

Penilaian yang dilakukan merupakan tindak lanjut dari peluncuran Peta Jalan Ekonomi Biru Indonesia yang diharapkan dapat memberikan muatan substantif dalam pengembangan sistem pangan nasional dalam penyusunan RPJMN 2025-2029.

Hal itu akan menjadi suatu tahapan untuk mendorong transformasi biru Indonesia untuk memperkuat kebijakan pangan, menciptakan solusi yang implementatif, dan memperkuat kolaborasi aktif beragam pihak.
Baca juga: Negara maju punya tanggung jawab besar mengendalikan perubahan iklim
Baca juga: COP28 Dubai sepakati pendanaan Rp1,2 kuadriliun


Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2023