Jakarta (ANTARA News) - Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) diminta bersikap tegas terhadap lembaga yang merilis hasil survei "abal-abal" atau hasil survei yang tidak berdasarkan proses dan metodologi survei yang benar.

"AROPI sebagai asosiasi pegiat survei harus berani menjewer perilaku seperti ini. Kasihan publik yang disesatkan dengan data-data seperti itu," kata Peneliti Senior Founding Fathers House (FFH) Dian Permata di Jakarta, Minggu.

Selain merugikan masyarakat, kata Dian, survei "abal-abal" juga menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga survei yang saat ini telah menjadi bagian dalam proses demokrasi di Indonesia.

Ia mengatakan bahwa survei terbukti menjadi instrumen yang sangat efektif untuk mendeteksi opini publik dan perilaku pemilih dalam pemilu. Survei dapat membantu kandidat presiden, gubernur, bupati atau wali kota, dan partai politik untuk mengukur besaran dukungan publik terhadap mereka sekaligus mengetahui ekspektasi masyarakat terhadap calon pemimpinnya atau calon partai politik pilihannya.

"Manfaat dari sebuah kegiatan ilmiah bernama survei sangat banyak. Jika dianologikan sebagai perang udara maka survei seperti radar. Jika perang darat maka survei itu seperti perimeter," katanya.

Saking canggihnya dan banyak manfaat dari survei, kata Dian, para kandidat presiden, gubernur, bupati, wali kota, dan partai politik seperti berlomba untuk menggunakan jasa lembaga yang menawarkan survei. Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari modernisasi dan liberalisasi politik di Tanah Air.

Menurut Dian, penggunaan ilmu survei di dunia perpolitikan di Indonesia masih terbilang baru sehingga tidak mengherankan apabila jumlah pegiat survei di Indonesia belum begitu banyak. Kondisi ini berbanding terbalik dengan jumlah pelaksanaan pemilu di Indonesia.

"Di Indonesia ada sekitar 500-an pelaksanaan pilkada. Ini ceruk yang sangat besar bagi pegiat survei," kata alumnus Universiti Sains Malaysia (USM) itu.

Sayangnya, lanjut Dian, ceruk yang besar tersebut disalahtafsirkan oleh pelbagai pihak yang ingin mengeruk keuntungan semata. Seperti bermunculannya lembaga penelitian nonmainstream survei atau lembaga penelitian yang tidak memiliki kepakaran di bidang survei namun justru menawarkan jasa survei.

"Fenomena seperti ini terjadi dalam lima tahun terakhir. Akibatnya bisa ditebak, hasil riset berupa survei yang mereka publikasikan sangat diragukan," katanya.

Ia lantas memberi contoh kasus hasil riset survei yang dilakukan oleh lembaga penelitian Proximity tentang peta kekuatan calon gubernur dan wakil gubernur pada Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Jawa Timur.

Dalam publikasi hasil riset survei yang diumumkan di media massa Jawa Timur pada tanggal 13 Agustus lalu, lembaga itu tidak mencantumkan teknik metodologi apa yang digunakan untuk meraih responden, serta tidak menyebutkan tingkat kepercayaan atau level of confidence.

"Padahal level of confidence, jumlah sampel atau responden, dan margin of error saling berkaitan. Ketiganya merupakan pisau analisis," kata Dian.

Proximity hanya menyebutkan jumlah responden 1.200 dengan margin of error (MoE) tiga persen. Menurut Dian, jika menggunakan level of confidence 95 persen untuk jumlah sampel 1.200, margin of error adalah 2.83 persen. Menggunakan level of confidence 99 persen untuk jumlah sampel 1.200, maka margin of error adalah 3.71 persen.

"Ini membingungkan. Angka margin of error dan jumlah responden tidak nyambung," katanya.

Contoh lain, kata Dian, hasil survei nasional oleh Focus Survey Indonesia (FSI) tentang calon presiden dan partai politik.

Dalam paparannya di media massa pada tanggal 2 Agustus lalu, FSI tidak mencantumkan level of confidence dan margin of error. Mereka hanya mencantumkan jumlah sampel mereka sebanyak 10.000 di 5.000 desa dari 21 provinsi.

"Dari keterangan itu saja sudah terbilang aneh. Untuk unit analisis survei nasional adalah provinsi, bukan desa. Survei tingkat gubernur, unit analisisnya kabupaten dan kota serta seterusnya. Survei tersebut juga tidak bisa dimasukkan ke kategori survei nasional lantaran hanya 21 provinsi," katanya.

Penggunaan sampel yang mencapai 10.000 dengan rentang waktu pelaksanaan survei 18 hari juga dinilai Dian tidak masuk akal.

FFH yang menggunakan 1.070 dan 2.000 sampel saja perlu waktu satu bulan lebih. Tes instrumen, perizinan, spot check, analisis data, dan lainnya.

FSI, lanjut dia, juga menolak mengungkapkan metodologi yang digunakan. Padahal sejatinya, metodologi dan segala perangkat pendukung kegiatan survei wajib diungkapan kepada publik. Kewajiban itu jelas di dalam kode etik WAPOR (World Association for Public Opinion Research).

Oleh karena itu, kata Dian, tidak mengherankan apabila keduanya dituduh melakukan pembohongan publik.

"Ketidakpahaman dan ketidaktaatan metodologi adalah secuil alasan. Efek bola salju dari perilaku kedua lembaga tersebut menyebabkan kredibilitas lembaga dan pegiat survei ada di titik nadir," katanya.

Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013