Jakarta (ANTARA) - Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono baru-baru ini membuat pernyataan yang mendorong semua pihak untuk melihat kembali proses penangkapan ikan di Indonesia.

Saat menyampaikan Outlook dan Program Prioritas Sektor Kelautan dan Perikanan pada 10 Januari 2024, Menteri Sakti mengatakan, alasan yang membuat ikan dari laut Indonesia hingga kini masih kesulitan diekspor ke pasar Eropa adalah karena cara penangkapan yang masih di luar batas atau barbar sehingga mengancam upaya pelestarian berkelanjutan.

Merujuk data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2022, tiga besar produk perikanan yang paling banyak diekspor berdasarkan nilainya adalah udang lebih dari 34 persen, tuna-tongkol-cakalang lebih dari 15 persen, dan cumi-sotong-gurita 11,81 persen.

Sedangkan negara tujuan ekspor utama adalah China, Jepang, Uni Eropa, Amerika Serikat dan negara-negara ASEAN. Jika mengacu pada data tersebut, ikan segar Indonesia memang masuk ke pasar Eropa dalam jumlah sangat terbatas. Pasar ikan segar lebih fokus ke Jepang.

Secara de jure, kondisi perikanan Indonesia telah diatur dengan baik dengan sejumlah regulasi yang diharapkan dapat mencegah terjadinya penangkapan ikan yang berlebihan dan barbar.

Misalnya, Keputusan Menteri KKP Nomor 50 Tahun 2017. Kepmen itu mengatur tentang estimasi potensi, jumlah tangkapan yang diperbolehkan, dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan.

Pada 2022 juga terbit Kepmen KP Nomor 19/2022 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan, Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Ikan.

Namun secara de facto, kondisi perikanan Indonesia memang sebagaimana dinyatakan Menteri Sakti, masih cenderung tidak terkontrol, ditandai dengan sekitar 80 persen perikanan Indonesia mencapai status lebih tangkap.

Hal ini menjadi ancaman keberlanjutan. Ancaman tersebut diperburuk dengan perubahan iklim, rusaknya sistem ekologi sumber daya perikanan, dan turunnya biodiversitas.

Sesungguhnya, bisnis perikanan Indonesia yang saat ini dalam tahap transformasi menuju perikanan berkelanjutan agar sejalan dengan konsep ekonomi biru membutuhkan dukungan dalam segala aspek.


Program Halo S

Untuk menunjukkan dukungan tersebut dan mendorong implementasi regulasi yang telah ada, sejumlah pihak dengan kepedulian tinggi tergerak melakukan sejumlah upaya.

Yayasan Konservasi Indonesia di antaranya, menginisiasi program Blue Halo S atau pendekatan Proteksi-Produksi yang diyakini dapat mengatasi ancaman di atas.

Pengelolaan perikanan dan perlindungan ekosistem serta sumberdaya terintegrasi menjadi pilar pengelolaan perikanan untuk masa depan.

Blue Halo S merupakan program yang menyelaraskan fungsi ekologi dan ekonomi berkelanjutan sehingga ada manfaat timbal balik antara kegiatan konservasi dan pemanfaatan sumber daya laut untuk kesejahteraan masyarakat.

Dukungan Blue Halo S di sektor perikanan dilakukan dengan melakukan sejumlah program yang selaras dengan strategi pembiayaan biru yang mencakup ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Pertama, persiapan untuk implementasi program penangkapan ikan terukur (PIT) dengan mendata hasil perikanan dan operasi ke pelabuhan perikanan. Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono resmi mengeluarkan Surat Edaran (SE) tentang Tahapan Pelaksanaan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) pada Tahun 2023.

PIT merupakan salah satu dari lima program prioritas ekonomi biru yang diusung Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Kebijakan PIT berbasis kuota tersebut bertujuan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem laut, meningkatkan mutu dan daya saing produk perikanan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, hingga mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkualitas.

Kedua, manajemen perikanan berkelanjutan dengan menetapkan dan mengimplementasikan hasil tangkapan maksimum berkelanjutan demi memastikan proporsi stok ikan berada dalam batas biologis yang aman.

Ketiga, mendorong optimalisasi produktivitas dan kualitas hasil tangkapan, promosi praktik perikanan berkelanjutan, penguatan rantai pasok dan mekanisme pelacakan, peningkatan keandalan data untuk penilaian stok, dan promosi tata kelola perikanan yang inklusif.

Keempat, berkontribusi pada program Kampung Nelayan Maju melalui peningkatan kapasitas di bidang usaha penangkapan ikan.

Di negara ini, program Blue Halo S sedang dalam fase persiapan yang diimplementasikan di WPP 572 yang mencakup Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Lampung, dan Banten.

Pemerintah pusat mencakup Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi, KKP, Bappenas, Kementerian Keuangan, serta pemerintah daerah yang berada di area WPP 572 sepakat untuk bersama-sama merealisasikan program ini.

Merujuk data tahun 2022, potensi perikanan di WPP 572 mayoritas berstatus merah, yang berarti bahwa bangsa ini tidak mampu menjaga sumber daya ikan dengan melakukan penangkapan secara serampangan tanpa kaidah-kaidah berkelanjutan.

Jenis perikanan dengan status merah yaitu ikan pelagis, ikan terumbu karang, udang penaeid, lobster, dan kepiting rajungan.

Semua pihak tentu ingin meningkatkan status perikanan Indonesia menjadi hijau dengan menerapkan prinsip ekonomi biru dalam aktivitas perekonomian di laut.

Harapannya, sektor perikanan bukan hanya menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat di wilayah pesisir saat ini, tetapi juga, berkontribusi besar bagi produk domestik bruto (PDB) Indonesia, dan mendapat tempat strategis di pasar-pasar dunia.



*) Penulis adalah Ketua Dewan Pengurus Yayasan Konservasi Indonesia.

Copyright © ANTARA 2024