Bogota (ANTARA) - Ekuador perlahan-lahan berhasil memulihkan diri dari kekerasan terburuk yang mengguncang negara Amerika Selatan tersebut sepanjang sejarah mereka.

Setelah berhari-hari kerusuhan terjadi di negara yang sebelumnya penuh kedamaian itu, pihak berwenang berusaha untuk memegang kendali atas penjara dan jalan-jalan yang dua minggu lalu dikuasai kelompok kriminal.

Pada 7-17 Januari tahun ini, orang-orang bersenjata dan bermasker menyerbu sebuah stasiun televisi di kota pelabuhan Guayaquil, menculik beberapa petugas kepolisian, dan melakukan serangkaian ledakan.

Pada periode itu juga, seorang jaksa yang bertugas menyelidiki geng kriminal ditembak mati di dalam mobilnya.

Geng-geng tersebut mengambil alih kendali sedikitnya tujuh fasilitas penjara di seluruh negeri dan menyandera 178 penjaga.

Sekolah-sekolah ditutup di seluruh negeri, sehingga kelas-kelas berlangsung secara virtual dan banyak bisnis tutup selama beberapa hari.

"Masyarakat tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, apakah harus meninggalkan rumah, pergi ke kantor, atau tetap di rumah," kata Fernando Carrion, profesor ilmu politik dari Fakultas Sosial Amerika Latin di Ekudor.

Di lingkungan penjara Ekuador, kelompok kejahatan menjadi hal yang umum. Akibatnya, sudah ada 400 orang narapidana yang tewas sejak 2021.

"Penjara sangat padat di negeri ini dan di dalamnya ada pemimpin-pemimpin kelompok kriminal yang terus melakukan kejahatan dari dalam penjara," kata Carrion.

Korban kekerasan di negara Amerika Selatan ini melonjak mencapai 8.008 orang pada 2023, hampir dua kali lipat dibandingkan angka 4.500 pada 2022.

Sementara pada 2017, rata-rata tindak pembunuhan di Ekuador adalah lima kasus pada setiap 100.000 warga. Angka tersebut meroket menjadi rata-rata 45 kasus, yang berarti terjadi kenaikan sembilan kali lipat hanya dalam enam tahun.

"Negeri ini mencatat kenaikan kekerasan tercepat di Amerika Latin. Pemerintah harus menjamin bahwa kecenderungan ini tidak terus meningkat," kata Carrion.

Pada Agustus lalu, kekerasan melanda kampanye pilpres negara tersebut ketika kandidat antikorupsi Fernando Villavicencio, yang melaporkan ancaman dari geng penyelundup narkoba Choneros, dibunuh dua minggu sebelum pemungutan suara. Beberapa bulan kemudian, tersangka kejahatan dibunuh di penjara.

Melihat perkembangan tersebut, Presiden Daniel Noboa pun kemudian mengumumkan keadaan darurat selama 60 hari. Dia mengerahkan militer di jalan-jalan dan penjara serta menerapkan jam malam secara nasional.

Menghadapi ledakan kekerasan kriminal, pemerintahan sebelumnya dalam beberapa tahun terakhir telah menerapkan keadaan darurat. 

Namun, upaya itu tidak membuahkan hasil meski mantan Presiden Guillermo Lasso telah mengumumkan keadaan darurat lebih dari 20 kali.

Menurut Carrion, tingkat kekerasan belum berhasil menurun selama pelaksanaan keadaan darurat tersebut. Sebaliknya, perdagangan narkoba justru meluas.

Presiden Noboa juga mengakui adanya "konflik bersenjata internal" di Ekuador dan mengidentifikasi sebanyak 22 geng kriminal sebagai kelompok teroris, termasuk Los Choneros. Dia memerintahkan angkatan bersenjata untuk memadamkan aksi mereka.

Akibat keputusan Noboa tersebut, lebih dari 2.000 orang telah ditahan dalam gelombang kekerasan di seluruh negeri yang dipicu oleh tindakan keras militer yang mengambil alih kekuasaan pada November setelah berjanji untuk mengekang kekerasan.

Sekitar 158 dari mereka yang ditangkap sedang diadili karena terorisme, sementara sekitar 20 ton obat-obatan terlarang telah disita.

“Kita berhasil melumpuhkan kekuatan para teroris narkotika ini secara signifikan dan dengan cara itu kita juga mendapatkan kekuatan,” kata sang presiden, 

Dia menambahkan bahwa Ekuador telah memenangi “pertempuran” melawan kejahatan terorganisasi.

“Kita harus menghadapi segala hal yang merugikan kita, namun kita memenangi pertempuran ini,” kata Noboa pada sebuah acara ketika pemerintah menyerahkan peralatan kepada polisi.

Noboa menyebutkan bahwa, setelah deklarasi konflik bersenjata internal, kematian akibat kekerasan telah menurun dari 38 kematian per hari menjadi enam kematian.

Pemerintah menyalahkan situasi ini pada geng-geng penyelundup kokain, yang semakin berkembang pesat di Ekuador.

Negara berpenduduk 18 juta jiwa ini berbatasan dengan Kolombia di utara dan Peru di timur dan selatan yang merupakan negara penghasil kokain terbesar di dunia.

Kartel narkotika Meksiko telah mengubah Ekuador menjadi pusat pengiriman kokain sebelum memasuki Eropa dan Amerika.

Menurut Carrion, masalah ini menjadi semakin buruk ketika kartel-kartel Meksiko mulai membayar geng-geng lokal dengan obat-obatan terlarang, bukan uang tunai.

Jenis pembayaran itu memaksa mereka untuk menjual obat-obatan tersebut di pasar lokal dan “meningkatkan pencucian narkoba, sehingga menyebabkan tingkat kekerasan meningkat.

Keputusan Presiden Noboa untuk menghancurkan geng-geng kriminal dengan mengintensifkan pendekatan militerisasi pemerintah mendapatkan dukungan luas di negara tersebut.

Bahkan, mantan Presiden sayap kiri Rafael Correa, yang kalah dalam pemilu melawan Noboa, menyatakan dukungannya pada langkah-langkah keamanan yang diambil oleh pemerintahan baru dalam menghadapi peningkatan dramatis dalam kekerasan yang dilakukan oleh kelompok penyelundup narkoba.

Pada Selasa (23/1), Noboa mengkonfirmasi bahwa negaranya akan menerima dukungan dari Amerika Serikat untuk memerangi kejahatan, 

Konfirmasi itu diberikan setelah dia mengadakan pertemuan dengan Komandan SOUTHCOM Jenderal Laura Richardson, Penasihat Khusus Presiden AS untuk Kawasan Amerika Christopher Dodd, serta Duta Besar AS untuk Ekuador Mike Fitzpatrick.

“Amerika Serikat dan dunia telah melihat apa yang terjadi di Ekuador dan menyadari betapa pentingnya melindungi negara ini,” kata Noboa, menambahkan.

Sumber: Anadolu

Baca juga: Ekuador: Bentrokan geng di penjara tewaskan lebih dari 100 orang

Baca juga: 41 orang tewas dalam kerusuhan di penjara wanita Honduras


 

Kerusuhan penjara Ekuador menewaskan sedikitnya 43 orang

Penerjemah: Atman Ahdiat
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2024