Jakarta (ANTARA) - Dalam beberapa tahun terakhir, isu tentang "food estate" atau lumbung pangan mengemuka dengan beragam pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Di satu sisi pemerintah memiliki keinginan yang sangat tinggi untuk dapat menjamin pasokan dan pemenuhan pangan bagi masyarakat, namun di sisi lain, formulasi dan implementasi program "food estate" tidak semudah membalik telapak tangan.

Kebijakan "food estate" disadari akan mencapai puncak hasilnya dalam waktu yang tidak sebentar. Sebab program ini sifatnya jangka panjang, sehingga tidak bisa seketika untuk menggantikan program jangka pendek, seperti impor beras.

"Food estate" sama sekali bukan proyek instan, melainkan proyek yang membutuhkan proses lama dan panjang. Sebuah kebijakan yang memerlukan proses, teknologi, dan riset agar produktif dan tercapai tujuan.

karena itu, menolak program "food estate" memerlukan usulan pengganti kebijakan yang relevan, karena kebutuhan pasokan pangan masyarakat yang terus meningkat, seiring bertambahkan jumlah penduduk, meluasnya alih fungsi lahan pertanian, perubahan iklim, kondisi geopolitik global yang memicu krisis pangan.

Maka program peningkatan produksi pangan pun tidak terelakkan untuk diimplementasikan, namun harus dengan formulasi yang tepat dan terukur agar tidak menimbulkan dampak yang tidak diinginkan.

Oleh karena itu, "food estate" layaknya tidak menjadi bahan debat kusir yang berkutat pada masalah dan dampaknya semata, melainkan pada solusi efektif agar ditemukan formulasi paling ideal dalam implementasinya.

Kebijakan ini memang tidak bisa diimplementasikan secara serampangan, tetapi harus berdasarkan riset, studi, dan kajian yang sangat matang.

Apalagi mengingat, program "food estate" pada Pemerintahan Jokowi merupakan program lumbung pangan jilid tiga yang pernah diterapkan di Tanah Air.

Maka wajar ketika "food estate" menjadi bahan yang selalu diperbincangkan di ranah publik, terlebih di tahun politik.

Saat ini, tak terelakkan bahwa implementasi "food estate" memerlukan evaluasi yang sangat mendalam, mengingat berbagai catatan terkait dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan, sosio kultural, dan keberlanjutan.


Mengapa penting

"Food estate" merupakan sebuah konsep yang digunakan untuk mengembangkan produksi pangan secara terintegrasi baik dalam lingkup pertanian, perkebunan, dan peternakan pada suatu kawasan tertentu.

Urgensi "food estate" menjadi semakin tinggi manakala dunia menghadapi krisis pangan akibat perubahan iklim dan pandemi COVID-19.

Dari sini pembangunan dan pengembangan kawasan "food estate" semakin dirasa penting untuk diarahkan sebagai program dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia.

Selain itu, ditunjang dengan urgensi keadaan yang memang mengharuskan Indonesia sekiranya memiliki cadangan, hingga ketahanan pangan mempunyai skala yang lebih besar.

Kemudian, ditinjau dari segi keruangan, pengembangan kawasan "food estate" memiliki salah satu bonus fungsi lahan yang mampu dikembangkan lebih ke arah modern, terutama untuk menyeimbangkan isu alih fungsi lahan pertanian.

Faktanya memang isu yang terus aktif digaungkan saat ini "food estate" bertumpu pada persoalan pangan. "Food estate" ada sebagai upaya menjadikan lumbung pangan nasional agar pasokan makanan dalam negeri tidak mengalami kekurangan.

Di era Pemerintahan Jokowi ini, "food estate" difokuskan untuk merespons ancaman krisis pangan, juga karena situasi perekonomian dunia sedang tidak baik-baik saja, usai semua negara dilanda pandemi COVID-19.

Bukan tanpa dampak negatif, "food estate" juga dianggap mendatangkan segudang masalah ikutan yang saat ini justru banyak dimunculkan ketimbang solusi yang diberikan.

Misalnya saja "food estate" dianggap menambah jumlah dan kompleksitas konflik agraria, meningkatkan potensi kerusakan lingkungan, dianggap memunculkan proletarisasi petani, militerisme pertanian, bahkan dikhawatirkan memicu krisis pangan baru.


Memahami konsep

Untuk dapat berkomentar lebih jauh mengenai positif dan negatif "food estate", atau perlu tidaknya konsep ini diimplementasikan hingga tuntas, maka pemahaman terhadap kesejarahan penerapannya di Indonesia sangat diperlukan.

Konsep lumbung pangan ini sejatinya sudah diterapkan sejak era Pemerintahan Presiden Soeharto yang menginisiasi Proyek Lahan Gambut (PLG) sejuta hektare sawah di Kalimantan Tengah.

Namun "food estate" jilid 1 itu dianggap gagal karena kurangnya kajian sosio-ekologis pada ekosistem gambut, dimana ada ketidaksesuaian dari program PLG dengan kondisi sosial budaya masyarakat lokal.

Kerugian sosial ekonomi terjadi, termasuk kebakaran hutan dari proyek "food estate" jilid pertama yang menghabiskan dana hingga Rp1,7 triliun yang bersumber dari Dana Reboisasi (DR) yang diperuntukkan bagi pemulihan hutan.

Program ini pada akhirnya dihentikan pada masa pemerintahan Presiden Habibie, melalui Keppres Nomor 33 Tahun 1998.

Berlanjut pada era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengupayakan agar program lumbung pangan diterapkan untuk mewujudkan ketahanan pangan rakyat melalui program "Merauke Integrated Energi Estate" (MIFEE) pada 2010.

"Food estate" jilid 2 ini diimplementasikan melalui pembukaan lahan 1,2 juta hektare di Merauke, Papua. MIFEE menemui kegagalan, menyisakan hutan sagu rakyat rusak, sehingga masyarakat kesulitan mendapatkan sagu, ikan, dan daging rusa atau babi, setelah hutan-hutannya dikonversi.

Proyek lumbung pangan dipindahkan dengan skema yang berbeda pada 2011 di Kalimantan Utara, dengan pembukaan lahan untuk mencetak sawah seluas 30.000 hektare.

Pada 2013 program serupa diterapkan di Kalimantan Barat, melalui pembukaan lahan untuk mencetak sawah 100.000 hektare di Ketapang. Sayangnya hanya sekitar 0,11 persen lahan yang berhasil termanfaatkan.

Dua proyek lumbung pangan di Bulungan dan Ketapang ini pun pada akhirnya dianggap tidak berhasil, akibat ketidaksesuaian kondisi sosial budaya dan belum tersedianya infrastruktur pendukung.

Terkini, di era Pemerintahan Jokowi diterapkan "food estate" di Kalimantan Barat (120 ribu hektare), Kalimantan Tengah (180 ribu hektare), Kalimantan Timur (10 ribu hektare) dan Maluku (190 ribu hektare), dan Papua (1,2 juta hektare).

Khusus di Kalteng, ada program Pengembangan Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektare di zaman Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, lalu sempat direvitalisasi lagi oleh pemerintah.

Dalam pola perencanaan, konsep ekonomi kerakyatan diterapkan dengan melibatkan koperasi sebagai "offtaker". Sayangnya, hasil panen belum sesuai harapan. Proyeksinya 1 hektare lahan mampu menghasilkan 10 ton kentang, namun faktanya 10 ton baru bisa dihasilkan dari 3 hektare lahan.

Pengelolaan pengadaan alat, bahan, bibit, dan pupuk dalam proyek ini dilakukan oleh pihak swasta. Sementara dari sisi tanaman yang dibudidayakan juga cenderung belum untuk pemenuhan pangan rakyat, melainkan lebih untuk keperluan industri.

Meski begitu, niat baik untuk mewujudkan ketahanan pangan, kini telah memasuki tahap yang sangat mendesak, sehingga "food estate" bukan saatnya untuk diperdebatkan masalahnya atau bahkan dijadikan komoditas politik untuk saling menjatuhkan.

Lebih jauh dari itu, program ini perlu penyempurnaan mendalam, sehingga ditemukan formulasi yang tepat secara teknologi, riset, kajian, implementasi, hingga mendatangkan hasil yang optimal, sesuai tujuan pemenuhan pasokan pangan bagi masyarakat.

 

Copyright © ANTARA 2024