Mataram (ANTARA) - Muhammad Lutfi yang menjadi terdakwa korupsi gratifikasi dalam pemenangan lelang proyek barang dan jasa di lingkup Pemerintah Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, terungkap mempunyai pendapatan sedikitnya Rp4,2 miliar selama menjabat Wali Kota Bima periode 2018–2023.

Hal itu terungkap dari pemeriksaan Sekretaris Daerah Kota Bima periode 2018–2023 Muhtar sebagai saksi perdana pada sidang lanjutan perkara milik Muhammad Lutfi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Mataram, Senin.

"Yang berhasil kami himpun kemarin dan hasil berita acara pemeriksaan (BAP) di KPK lebih dari Rp4,2 miliar pendapatan yang diterima Muhammad Lutfi selama lima tahun menjabat," kata Muhtar pada sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Putu Gde Ariadi.

Muhtar menjelaskan sumber pendapatan yang menyentuh angka Rp4,2 miliar tersebut. "Ada dari gaji, honorarium, sewa rumah pribadi jadi rumah dinas, sama tunjangan operasional wali kota," ujarnya.

Baca juga: KPK akan hadirkan lima saksi pada sidang korupsi mantan Wali Kota Bima

Muhtar juga mengatakan ada sumber pendapatan lain yang masih dalam penelusuran. Sekretariat Daerah Kota Bima menelusuri dari bukti penerimaan, salah satunya kuitansi.

"Jadi, ada beberapa kuitansi yang masih kami telusuri lebih lanjut," tambahnya.

Setda Kota Bima menelusuri bukti penerimaan Muhammad Lutfi di luar pendapatan pokok tersebut melalui Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Bima.

"Waktu itu, BPKAD belum menemukan karena pindah kantor. Jadi, ada beberapa kuitansi penerimaan yang belum masuk pendataan, ini masih kami telusuri," kata Muhtar.

Baca juga: KPK sebut mantan wali kota Bima Muhammad Lutfi segera disidangkan

Berkaitan dengan BPKAD, jaksa penuntut umum dari KPK juga meminta penjelasan saksi soal pembelian tanah atas nama terdakwa Lutfi di Jalan Gajah Mada, Kota Bima.

Tanah tersebut digunakan Lutfi membangun rumah pribadi yang kemudian disewa sebagai rumah dinas Wali Kota Bima.

"Kalau tanah untuk rumah dinas itu dibeli saat menjadi anggota DPR RI. Soal kapan tahun belinya, saya tidak tahu, saya hanya mengurus masalah balik nama," ujar Muhtar.

Perihal tanggal akta jual beli tanah pada objek tersebut tercatat 9 Mei 2019, Muhtar mengatakan bahwa pada tanggal tersebut dilakukan proses balik nama kepemilikan tanah.

"Jadi, itu (9 Mei 2019) tanggal balik nama, bukan tanggal pembelian. Kebiasaan masyarakat Bima itu kalau beli tanahnya 10 tahun lalu, balik namanya sekarang," kata Muhtar.

Baca juga: KPK periksa istri Wali Kota Bima sebagai saksi korupsi di Pemkot Bima

Jaksa penuntut umum dari KPK kembali mendalami perihal penerimaan uang sewa rumah pribadi untuk rumah dinas senilai Rp1,13 miliar dari pemerintah selama Muhammad Lutfi menjabat Wali Kota Bima.

Muhtar menjelaskan bahwa penentuan harga sewa tersebut merujuk pada hasil tim appraisal. Sehingga ada ketentuan yang menjadi dasar Pemerintah Kota Bima membayar sewa rumah pribadi Lutfi sebagai rumah dinas Wali Kota Bima.

"Jadi, pembayaran sewa atas rumah pribadi itu langsung dilakukan ke rekening Muhammad Lutfi," ucap Muhtar.

Baca juga: KPK panggil Kabid Cipta Karya PUPR Kota Bima
Baca juga: KPK geledah sejumlah lokasi terkait penyidikan korupsi di Pemkot Bima

Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2024