Kedelai kita sudah bisa dipanen antara 70 sampai 80 hari, sedangkan kedelai yang dikembangkan di Amerika enam bulan baru bisa panen...
Jakarta (ANTARA News) - Produsen tahu dan tempe kembali resah, dan mereka kembali mengancam mogok berproduksi.

Pangkal permasalahannya masih sama, harga kedelai sebagai bahan baku utama untuk memproduksi tahu dan tempe melonjak akibat anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Maklum saja, kedelai yang digunakan para produsen tahu dan tempe ini kebanyakan impor dari Amerika Serikat.

Pasokan kedelai lokal hanya mencapai 800 ribu ton, sementara kebutuhan kedelai dalam negeri setiap tahunnya adalah 2,7 juta ton.

Sebagai contoh, harga kedelai di Bali yang sebelumnya Rp7.200 per kilogram kini naik menjadi Rp9.200 per kilogram. Harga di daerah lain di Jawa dan Sumatra pun tidak jauh berbeda.

Untuk mengakali keterbatasan ini, para pengusaha tahu tempe pun mengurangi ukuran agar tidak membebankan kenaikan harga kepada konsumen.

Mereka juga terpaksa merumahkan sebagian pekerja untuk mengurangi biaya produksi.

Berulang

Persoalan ini mengulang apa yang terjadi beberapa tahun silam. Ketika konversi minyak tanah ke gas berbarengan dengan gejolak kenaikan harga kedelai.

Kala itu produsen dan pedagang tahu tempe sepakat menggelar aksi mogok nasional.

Forum Komunikasi (FK) Primkopti Jakarta saat itu bahkan mengeluarkan himbauan kepada seluruh anggotanya untuk mogok kerja 14--16 Januari 2008, sebagai buntut kenaikan harga kedelai yang terjadi hampir sepanjang tahun 2007.

Pada awal 2007, harga eceran kedelai adalah Rp3.450 per kg. Harga kemudian naik menjadi Rp5.450 pada awal November 2007. Harga masih terus naik hingga menjadi Rp7.250 per kg pada awal tahun 2008.

Kenaikan harga kedelai tahun 2007--2008 lebih akibatkan oleh  terganggunya pasokan kedelai dari Amerika Serikat.

Ketika itu petani kedelai di negeri Paman Sam ramai-ramai berubah haluan menanam jagung akibat meningkatnya permintaan di dalam negeri untuk yogurt energi.

Alhasil, bukan cuma produsen tahu dan tempe di Indonesia yang resah, China yang mengimpor kedelai sebanyak 33 juta ton dari Amerika pun turut merana.

Tidak tuntas

Melonjaknya harga kedelai bukan tanpa diredam. Semua pihak pun sadar bahwa kemandirian pangan seharusnya menjadi yang nomor satu, namun ternyata ada kendala yang tidak mudah terselesaikan.

Menurut Kepala Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, Astu Unadi, sebenarnya Indonesia memiliki varietas kedelai yang lebih unggul dibanding Amerika.

"Kedelai kita sudah bisa dipanen antara 70 sampai 80 hari, sedangkan kedelai yang dikembangkan di Amerika enam bulan baru bisa panen," katanya.

Yang menjadi kendala untuk menjadi mandiri kedelai, menurut dia, terletak di masalah ketersediaan lahan. Petani yang awalnya menanam kedelai mulai beralih karena harga jual yang selalu kalah dengan kedelai impor.

Jika sudah berkaitan dengan harga, Kementerian Pertanian tidak bisa berbuat apa-apa, ujarnya.

Menurut dia, dalam hal ini Perum Bulog lebih dapat berperan untuk memprioritaskan produksi petani lokal, agar harga terkendali dan petani pun untung.

Terkait dengan upaya penambahan lahan, sistem tumpang sari di lahan hutan digiatkan saat gejolak kenaikan harga kedelai terjadi pada tahun 2007--2008.

Lahan hutan yang dikelola Perum Perhutani di Jawa sekitar 2,4 juta hektare dengan total hutan produksinya mencapai 1,6 juta hektare. Dengan memanfaatkan 25 persen dari total lahan hutan produksi, pemerintah berharap bisa menambah produksi kedelai nasional hingga 800.000 ton per tahun.

Tapi program tumpang sari di sela-sela hutan jati tidak lantas dengan mudah terlaksana.

"Gerbong (birokrasi)-nya terlalu panjang," kata dia.

Dihadapkan dengan kendala-kendala ini, Menteri Pertanian Suswono merasa tetap optimistis Indonesia mampu mencapai swasembada kedelai tahun depan, dengan strategi produktivitas kedelai tiga ton per hektare.

Sambil menunggu Indonesia mandiri kedelai, Kementerian Perdagangan pun kembali mengeluarkan kebijakan impor berupa Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 45/M-DAG/KEP/8/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24/M-DAG/PER/5/2013 tentang Ketentuan Impor Kedelai Dalam Rangka Program Stabilitas Harga Kedelai.

Dalam peraturan baru ini mekanisme importasi dilakukan melalui importir terdaftar (IT) dan importir produsen (IP), serta penambahan BUMN sebagai importir kedelai, sehingga badan usaha umum nasional selain Bulog pun dapat melakukan impor.

Keputusan lain terkait dengan stok kedelai, Kementerian Perdagangan mengeluarkan persetujuan impor sebanyak 584.000 ton kepada 21 perusahaan hingga Desember 2013.

Kebijakan instan lagi-lagi menjadi solusi untuk menekan harga kedelai dalam negeri.

Dan petani kedelai Indonesia--yang baru saja menikmati untung dari kenaikan harga--kembali harus gigit jari karena harga kedelai mereka harus kalah dengan harga kedelai impor--yang masuk bebas bea dan lain-lain.

Oleh Virna P Setyorini
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013