Jakarta (ANTARA) - Air Sungai Batanghari melimpas di  sebagian Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muaro Jambi. Namun, sejumlah pengunjung justru tampak menikmati kondisi itu untuk berkeliling naik sampan di kawasan yang merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya tersebut. Sesekali mereka berhenti untuk memakan jajanan yang ditawarkan  oleh para penjual layaknya transaksi di pasar terapung.

KCBN Muaro Jambi berada di atas lahan seluas 3.981 hektare. Di tempat bersejarah ini terdapat sembilan buah candi dan beberapa di antaranya telah dipugar, yakni  Candi Astano, Candi Kembarbatu, Candi Tinggi, Candi Tinggi I, Candi Gumpung, Candi Gumpung I, Candi Gedong I, Candi Gedong II, dan Candi Kedaton.

Berdasar penelitian, adanya beberapa bangunan candi dengan bentuk yang berbeda-beda di kompleks ini merupakan pertanda bahwa kompleks candi tersebut  bukanlah sekadar kompleks candi yang digunakan sebagai tempat peribadatan. Tapi,  Kompleks Candi Muaro Jambi merupakan pusat peradaban Buddha pada abad ke-7.

Hal tersebut dibuktikan dengan temuan-temuan yang ada,  seperti arca  Dwarapala (penjaga pintu), Gadjasimha (gajah berbadan singa), Umpak Batu, Lumpang Batu, hingga Prajnaparamita sebagai perwujudan dewi kesempurnaan dan kebijaksanaan yang kerap ditemukan di candi-candi Buddha . 

Tidak hanya itu,  ditemukannya bukti kunjungan sejumlah biksu dari Bhutan, Nepal, dan beberapa negara lain  untuk melakukan peribadatan di tempat ini pada beberapa waktu yang lalu semakin menguatkan bahwa Kompleks Candi Muaro Jambi benar-benar menjadi pusat peradaban Buddha di masa lalu.

Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah V Jambi, Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Agus Widiatmoko, menuturkan bahwa para biksu tersebut memiliki naskah dan legenda tersendiri tentang bagaimana peradaban Buddha di masa lalu, salah satunya berkembang di kompleks candi ini.
 
Salah satu bangunan candi yang telah dipugar di Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muaro Jambi, Provinsi Jambi, Sabtu (3/2/2024). (ANTARA/Sean Muhamad)


Peradaban Buddha yang diajarkan di Kompleks Candi Muaro Jambi pada masa lalu memiliki pengaruh besar dalam kerajaan Buddha di Indonesia, salah satunya di bidang arsitektur.

Temuan yang ada mengungkapkan bahwa berbagai candi bercorak Buddha di tempat lainnya di Indonesia seperti Candi Singasari di Malang, Jawa Timur yang didirikan sekitar tahun 1300 M, atau Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah yang didirikan pada tahun 824 M dipengaruhi oleh arsitektur candi yang dimulai di Kawasan Candi Muaro Jambi yang didirikan lebih awal.

Kemudian, bukti lain ditunjukkan pada Candi Kedaton, salah satu candi terbesar di wilayah ini yang dikelilingi dinding seluas 44.100 meter persegi. Candi Kedaton memiliki keunikan, karena candi ini tidak memiliki konsep pintu masuk yang berada di arah terbit atau terbenamnya matahari (timur atau barat).

Tak seperti candi-candi pada umumnya, Candi Kedaton memiliki pintu masuk di utara dan selatan, dengan menyesuaikan keadaan topografinya yang dikelilingi oleh kanal kuno buatan masyarakat di era tersebut. Tujuannya, untuk memisahkan antara rakyat dan para daton atau datuk yang berarti orang yang dituakan. Sehingga, Kedaton memiliki arti tempat bagi para orang yang dituakan atau berpangkat.

 
Sumber air yang memiliki tingkat keasaman (pH) netral (pH 7) yang berada di Candi Kedaton, di Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muaro Jambi, Provinsi Jambi, Sabtu (3/2/2024). Legenda mengatakan orang yang mencuci muka dengan air yang berasal dari sumber air tersebut akan tampak menjadi lebih muda. (ANTARA/Sean Muhamad)


Penamaan Candi Kedaton bukanlah penamaan yang diberikan oleh orang di masa kini. Penamaan candi tersebut bersumber dari penuturan tokoh masyarakat setempat yang diperoleh dari para leluhurnya.Dengan demikian,  nama Kedaton  tersebut sudah dikenal oleh masyarakat setempat secara turun-temurun.

Tidak hanya arsitektur, beberapa riwayat juga menyebutkan bahwa kuliner khas Betawi yang menggunakan buah pucung atau keluak, yang bernama Gabus Pucung merupakan salah satu jenis kuliner yang dibawa oleh orang-orang dari Sriwijaya yang tinggal di tepian Sungai Batanghari ke wilayah Jakarta pada masa itu. Kuliner itu kemudian dimodifikasi menjadi rawon yang berbahan dasar daging oleh orang-orang yang berpindah ke wilayah Jawa Timur.

Revitalisasi

KCBN Muaro Jambi kini menjadi salah satu fokus utama pemerintah untuk direvitalisasi dan  dilestarikan.  Kawasan ini telah ditetapkan sebagai warisan budaya nasional berdasarkan penetapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 259/M/2013.

Revitalisasi KCBN Muaro Jambi merupakan sebuah langkah tindak lanjut dari Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dalam UU tersebut, terdapat dua hal yang dituju, yaitu berkaitan dengan ketahanan budaya serta kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia.

Pada tahun 2022 telah dilakukan Program Revitalisasi KCBN Muaro Jambi yang meliputi pemugaran, normalisasi parit keliling, dan penataan lingkungan.

Sementara  pada tahun 2024, akan dilakukan pembangunan museum, pemugaran Candi Kotomahligai dan Candi Paritduku, perencanaan pemugaran Candi Sialang dan Candi Alun-Alun. Selain itu, penataan lingkungan Candi Kotomahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong, dan Candi Astano, serta normalisasi parit dan kolam dengan anggaran tak kurang dari Rp600 miliar.

Pelibatan masyarakat setempat juga menjadi salah satu fokus dalam revitalisasi kawasan tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Kemendikbudristek adalah mengadakan pelatihan wirausaha untuk diterapkan dalam Pasar Dusun Karet (Paduka), yang berada di dalam Kompleks KCBN Muaro Jambi, sebagai pengganti usaha masyarakat yang belum terencana di wilayah tersebut.

Masyarakat juga diajak untuk menyiasati banjir yang merendam kawasan tersebut saat Sungai Batanghari meluap, dengan menyewakan perahu sampan, serta melibatkan mereka untuk membuat pasar apung yang menjual jajanan dengan kearifan lokal setempat.

 
Pengunjung dan masyarakat setempat memanfaatkan kondisi banjir dengan berekreasi dan berjualan dengan menggunakan sampan di Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muaro Jambi, Provinsi Jambi, Sabtu (3/2/2024). (ANTARA/Sean Muhamad)


Masyarakat setempat dilibatkan pula dalam pengelolaan buah-buahan, mulai dari proses pemeliharaan, panen, hingga jual beli dan pelelangan dari buah kawasan KCBN Muaro Jambi. Upaya tersebut saat ini mampu menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hingga Rp600 juta.

Kemendikbudristek juga akan mengajak sejumlah masyarakat untuk melakukan studi ke Vietnam, guna mempelajari bagaimana masyarakat di tepi Sungai Mekong dapat melestarikan kebudayaan sekaligus memanfaatkan nilai ekonomisnya. 

Pelestarian KCBN Muaro Jambi tidak hanya berfokus pada cagar budaya, tetapi juga mengembangkan pelindungan alam dan lingkungan, karena kearifan lokal Nusantara tidak pernah lepas dari apa yang alam berikan untuk dimanfaatkan para leluhur.

KCBN Muaro Jambi diharapkan bisa kembali menjadi pusat peradaban, menjadi pusat pembelajaran sejarah Nusantara dan berkontribusi menjaga alam Indonesia di masa yang akan datang.
 

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024