Jakarta (ANTARA) -
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyatakan bahwa seluruh camat bisa berperan penting memantau keluarga berisiko stunting lewat mini lokakarya yang diadakan rutin setiap bulan di masing-masing kecamatan.
 
"Mini lokakarya ini penting karena sangat terjangkau untuk membicarakan siapa yang berisiko tinggi, yang hamil tetapi barangkali miskin ekstrem, atau hamil tetapi ternyata punya penyakit tertentu, kurus, dan seterusnya. Jadi, keluarga yang berisiko tinggi itu lebih bisa dijangkau dari sisi kecamatan," kata Hasto dalam acara Kick Off Mini Lokakarya Stunting tahun 2024 via daring di Jakarta, Selasa.
 
Hasto menyebutkan mini lokakarya di masing-masing kecamatan dapat dibuat secara rutin dengan anggaran yang dikeluarkan melalui bantuan operasional keluarga berencana dana alokasi khusus (BOKB DAK) setiap sebulan sekali.
 
"Sebagai camat di daerah, saya memahami bahwa kita harus bisa melakukan koordinasi dengan para kepala desa dan pemangku kepentingan terkait untuk percepatan penurunan stunting, dan dengan anggaran yang sangat terbatas di kecamatan, misalnya hari ini mini lokakarya Rp100 juta per tahun tentu belum cukup, tetapi kami berharap, ini bisa untuk stimulasi agar kita selalu melakukan koordinasi," ujar dia.

Baca juga: BKKBN ingatkan pentingnya keluarga turunkan nilai luhur pada anak

Baca juga: BKKBN sosialisasi Bangga Kencana dan penurunan stunting di Sleman
 
Ia menjelaskan, program percepatan penurunan stunting di tingkat kabupaten atau provinsi, cakupannya terlalu luas sehingga mengenali kasus-kasus keluarga berisiko stunting di tingkat kecamatan tentu akan lebih mudah.
 
"Saya berharap, mini lokakarya ini bisa digunakan untuk forum diskusi membicarakan kondisi masing-masing desa di seluruh kecamatan dengan keluarga-keluarga yang berisiko tinggi stunting. Inilah upaya kita untuk mencegah stunting-stunting baru mulai dari hulu," ucapnya.
 
Ia mengemukakan, memantau pasangan yang menikah di satu kecamatan tentu tidak terlalu banyak dalam sebulan, sehingga apabila dilaksanakan sebulan sekali, mini lokakarya ini diharapkan dapat memberi lebih banyak dampak untuk mengatasi stunting dari hulu.
 
"Mungkin kasus pernikahan yang dibahas tidak banyak, kita tentu berharap mereka sehat, tetapi mungkin ada yang terlalu muda, terlalu tua, terlalu kurus, atau punya masalah-masalah atau penyakit tertentu sehingga saat hamil berpotensi melahirkan anak stunting. Keluarga atau calon keluarga berisiko stunting ini perlu dikenali lewat mini lokakarya, sehingga setiap camat punya petanya," tuturnya.
 
Ia mengutarakan, data keluarga juga dapat digunakan untuk mengenali keluarga yang rumahnya tidak layak huni tetapi ada ibu hamil, karena apabila ada ibu hamil yang tinggal di lingkungan buruk, maka peluang anak lahir sering diare atau batuk pilek atau tuberkulosis akibat rumahnya kumuh juga tinggi.
 
"Inilah pentingnya camat mengetahui bayi yang lahir di daerahnya, yang tinggi badannya kurang dari 48 cm siapa saja, dan di mana, yang berat badannya kurang dari 2,5 kg siapa saja, sehingga setiap mini lokakarya bisa dilaporkan berapa bayi yang lahir per bulan dengan berat dan tinggi badan kurang dari angka-angka tersebut," paparnya.
 
Menurut Hasto, dengan pantauan camat secara rutin melalui mini lokakarya tersebut, maka tim pendamping keluarga (TPK) bisa mendapatkan gambaran siapa saja keluarga yang bisa ditangani.
 
"Misalnya yang hamil tetapi anemia siapa, jadi konkret membicarakan kasus, mereka ada di mana, keluarga yang mana, untuk dilakukan pendampingan, bayinya diikuti terus perkembangannya apakah di kartu menuju sehat (KMS) tingginya mendekati garis merah atau tidak, itu TPK bisa segera mendampingi," demikian Hasto Wardoyo.*

Baca juga: BKKBN: Tim pendamping harus beri contoh keluarga yang bahagia & sehat

Baca juga: Kepala BKKBN sebut ilmu dalam agama Islam sudah ajarkan tak nikah muda

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2024