Jakarta (ANTARA) - Penanganan kanker merupakan salah satu tantangan kesehatan global yang memerlukan perhatian serius, di mana kanker menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia.

Dalam rangka Hari Kanker Sedunia yang diperingati pada tanggal 4 Februari setiap tahunnya, Perhimpunan Onkologi Indonesia Cabang Jakarta Raya (POI Jaya) melangsungkan serangkaian kegiatan bertajuk  “World Cancer Day: ‘Hope, Faith, Love’”.

Ketua Perhimpunan Onkologi Indonesia Jaya Prof. Dr. Dr. dr. Ikhwan Rinaldi, Sp.PD-KHOM, M.Epid, M.Pd.Ked, FINASIM, FACP, memaparkan bahwa kanker adalah masalah kesehatan dengan urgensi yang tinggi, salah satunya adalah  Limfoma Hodgkin yakni salah satu jenis kanker getah bening, karena diagnosis yang masih rendah.

“Kanker kelenjar getah bening jenis Limfoma Hodgkin adalah salah satu kanker yang tingkat diagnosisnya masih rendah. Penyakitnya ada, tapi sayangnya, pada banyak kasus, baru terdiagnosis setelah berada di stadium lanjut,” jelas Ikhwan.

Limfoma Hodgkin (LH) adalah salah satu jenis kanker yang berasal dari sel darah putih yang disebut limfosit. Limfosit merupakan komponen sistem limfatik yang merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh. Menurut data Globocan tahun 2020, di Indonesia terdapat 1.188 kasus baru LH dengan kematian sebanyak 363 kasus.

Faktor risiko

Ada sejumlah faktor risiko yang meningkatkan seseorang terkena LH di antaranya infeksi virus Epstein-Barr. Satu dari 1.000 orang yang terinfeksi virus Epstein-Barr berisiko terkena LH.

Kemudian risiko lainnya adalah sistem imun. Risiko meningkat pada orang yang terinfeksi HIV (virus penyebab AIDS), orang yang mengonsumsi obat-obatan penekan sistem kekebalan tubuh, dan orang dengan penyakit autoimun.

Riwayat keluarga juga memberikan pengaruh pada peningkatan risiko. Saudara laki-laki dan perempuan dengan penyakit ini memiliki risiko lebih tinggi terkena LH. Risiko ini sangat tinggi untuk kembar identik dari seorang pasien LH.

Risiko lainnya adalah jenis kelamin, karena penelitian menunjukkan bahwa LH lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita. Selain itu faktor usia juga dapat mempengaruhi risiko, dimana LH umumnya terjadi pada usia 15-30 tahun dan di atas usia 55 tahun.

Lebih lanjut Prof. Ikhwan memaparkan bahwa ada sejumlah gejala yang ditimbulkan dari penyakit kanker LH yang perlu diwaspadai seperti muncul benjolan atau pembesaran pada kelenjar getah bening di leher, bawah ketiak, atau pangkal paha.

Kemudian, terjadinya gejala umum yang disebut "B symptoms" atau gejala sistemik seperti demam lebih dari 38 derajat celcius tanpa penyebab yang jelas, berkeringat berlebihan pada malam hari, hingga turun berat badan lebih dari 10 persen dalam 6 bulan berturut-turut.

“Untuk itu, segera periksakan diri ke dokter apabila merasa memiliki gejala tersebut. Walaupun penyakit kanker LH memiliki angka kesembuhan yang tinggi, namun masih ada kemungkinan untuk kambuh sekitar 10 hingga 30 persen. Jadi, semakin dini LH dapat dideteksi, semakin cepat dapat ditangani, dan semakin tepat sasaran pengobatan yang diberikan,” lanjut Prof. Ikhwan.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan RI Dr. Eva Susanti, S.Kp., M.Kes. menyambut baik inisiatif yang dilakukan oleh POI Jaya dalam memberikan edukasi terkait limfoma ini.

“Kami mengapresiasi segala bentuk kolaborasi untuk mengedukasi masyarakat mengenai penyakit kanker di Indonesia. Seperti yang dilakukan oleh POI Jaya bersama para mitra ini. Sebab akses terhadap informasi dan edukasi seputar penyakit kanker di Indonesia harus terus dilakukan oleh semua pihak. Ini menjadi tanggung jawab kita bersama,” kata Eva.

Menurut Eva, kanker yang ditemukan pada stadium awal melalui deteksi dini dan ditangani secara tepat akan memberikan peluang kesembuhan 90 persen. Apalagi saat ini pengobatan untuk LH telah tersedia dan tercakup di dalam BPJS Kesehatan. Untuk itu, Eva mengimbai masyarakat agar jangan ragu untuk segera melakukan deteksi dini.

Di kesempatan yang sama, Head of Patient Value Access PT. Takeda Indonesia, Shinta Caroline, berterima kasih atas kesempatan bekerja sama yang diberikan oleh POI Jaya dalam meningkatkan kesadaran tentang gejala, diagnosis, dan pengobatan limfoma Hodgkin.

Shinta mengatakan pihaknya menyadari beban yang ditimbulkan penyakit ini. Oleh karena itu, Takeda berkomitmen memperkuat kerja sama dengan pihak-pihak terkait, termasuk POI dan Kementerian Kesehatan RI, dalam memastikan akses obat-obatan dan vaksin kami tersedia bagi para pasien di Indonesia, termasuk untuk LH yang pengobatan inovatifnya saat ini telah tersedia di JKN.

"Melalui acara diskusi kesehatan, kami juga berharap dapat mendorong deteksi dini dari masyarakat dan memberikan harapan kepada pasien untuk kehidupan yang lebih berkualitas,” jelas Shinta.

Secara umum, harapan hidup pasien LH dalam 5 tahun setelah terdiagnosis adalah 89 persen. Komplikasi penyakit limfoma dapat mencakup penyebaran kanker ke organ lain, penurunan fungsi organ, kerusakan sumsum tulang, infeksi, efek samping pengobatan, dan masalah kesehatan mental atau emosional.

Dalam beberapa kasus, limfoma dapat bersifat agresif dan sulit diobati, menyebabkan prognosis yang lebih buruk. Sayangnya, kebanyakan kasus LH baru terdiagnosis pada stadium lanjut.

Berdasarkan tatalaksana dari National Comprehensive Cancer Network (NCCN), beberapa jenis pengobatan Limfoma Hodgkin antara lain; kemoterapi, radioterapi, imunoterapi dan terapi target yang menargetkan protein pada sel kanker yang mengendalikan pertumbuhan sel kanker, tanpa mempengaruhi sel normal lain.
 

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024