Jakarta (ANTARA) - Bukannya menangis seperti rekan-rekan senasib lainnya, Intan K (27) justru merasa lega saat terdiagnosis limfoma atau dikenal sebagai kanker kelenjar getah bening, pada 10 tahun silam.

Dia sebelumnya harus melalui proses relatif panjang karena semula dinyatakan terkena tuberkulosis (TB) akibat mengalami masalah di bagian lehernya. Dia pun harus menjalani pengobatan TB selama delapan bulan.

Selama pengobatan, jelas masalahnya tak selesai. Intan justru mendapati adanya cairan di paru, mudah lelah dan tidak sanggup beraktivitas seperti biasanya. Saat itu dia masih kelas 3 sekolah menengah atas (SMA) di Pekanbaru, masa-masa seharusnya fokus pada ujian nasional. Intan bahkan sempat dirawat di intensive care unit (ICU) selama 10 hari dan dipasangi ventilator. Kondisi koma pun dia alami.

Karena tak kunjung pulih, dia kemudian diterbangkan ke Jakarta untuk mendapatkan pemeriksaan menyeluruh dan barulah dirinya mengetahui ada kanker kelenjar getah bening stadium empat. Saat itu sel kanker sudah tak lagi di satu organ, melainkan menyebar ke berbagai bagian tubuh seperti paru, limpa dan hati.

"Waktu dikasih tahu kanker, Alhamdulillah. Ibarat misteri terpecahkan. Kalau sudah tahu masalahnya, tinggal cari solusi dan jalani solusinya. Memang luar biasa capek dengan segala efek," kata Intan.

Intan kemudian menjalani pengobatan sebagaimana seharusnya, seperti kemoterapi dan radiasi. Tangisnya baru pecah saat mendapati rambutnya yang perlahan rontok padahal harus dipotret untuk buku tahunan SMA. Dia juga merasa tak percaya diri dengan penampilannya.

Dia secara total mendapatkan sebanyak 16 kali kemoterapi dan lebih dari 20 kali terapi radiasi. Masa SMA-nya terlampaui dan status sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi di FISIP Universitas Indonesia berhasil dia sandang.

Merasa kondisinya sudah baik-baik saja dan sempat dinyatakan aman dari kanker, Intan pernah memutuskan melarikan diri dari pengobatan. Hasilnya, tiga tahun sejak diagnosis, limfoma kembali hadir, kali ini di saraf tulang belakang yang menyebabkannya lumpuh sementara.

Intan kala itu sulit berjalan dan harus cuti kuliah. Dia juga menjalani operasi tulang belakang demi menghindari lumpuh total. Bagi wanita yang suka menari itu, lumpuh merupakan mimpi buruk.

Dia membutuhkan waktu sekitar dua bulan untuk bisa berdiri. Prosesnya kala itu bak bayi berjalan berjalan, mulai dari mengangkat kepala, memiringkan badan ke kanan dan kiri, kemudian duduk. Dia masih ingat saat itu bisa melihat kakinya namun tak mampu merasakannya.

Intan kembali berjuang melawan limfoma dan tahun 2019 dia dinyatakan remisi oleh dokter.

"2018 ikutan maraton 10 km, 2019 dinyatakan remisi. Tahun ini Desember aku sudah lima tahun remisi," kata dia.
Penyintas limfoma, Intan K saat menghadiri diskusi media bertajuk “Hari Kesadaran Limfoma Sedunia 2023: We Can’t Wait – to Focus on Our Feelings" di Jakarta, Jumat (15/9/2023). (ANTARA/Lia Wanadriani Santosa)


Limfoma dan TB

Berbicara antara limfoma dan TB, pakar penyakit dalam di Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Penyakit Dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Dr dr Andhika Rahman, SpPD-KHOM mengatakan ada kemiripan gejala, salah satunya berkeringat di malam hari.

Gejala lain yang juga mirip antara keduanya yakni munculnya benjolan pada area tubuh yang terdapat kelenjar getah bening seperti di leher.

Oleh karena itu, Andhika mengingatkan khususnya pada tenaga medis untuk bisa menyelesaikan diagnosis penyakit TB setidaknya 10 hari sejak pasien mendapatkan obat antituberkulosis (OAT).

Bakteri penyebab TB diketahui adanya cepat membelah diri, lambat dan bahkan tidur. OAT bekerja pada bakteri yang cepat membelah diri sehingga pasien akan menunjukkan perbaikan dan merasa sudah sembuh.

Namun, apabila tak ada perbaikan, maka perlu dicari tahu tentang masalah lain karena bisa jadi gejala yang dialami pasien bukan TB melainkan limfoma.

Andhika menuturkan benjolan akibat limfoma biasanya berjumlah tidak hanya satu melainkan banyak karena benjolan bisa muncul di sepanjang sepanjang kelenjar getah bening di seluruh bagian tubuh. Benjolan ini umumnya bertambah besar dan tak terasa sakit.

Selain benjolan, pertanda limfoma antara lain demam terus menerus, gatal-gatal di kulit, penurunan berat badan secara signifikan dan sesak napas.

Berbicara faktor risiko, sejumlah hal yang meningkatkan risiko seseorang terkena limfoma salah satunya usia. Beberapa tipe limfoma lebih umum dialami dewasa muda, sementara yang lain lebih sering terdiagnosis pada usia lebih dari 55 tahun.

Laki-laki diketahui lebih mungkin mengembangkan limfoma dibandingkan wanita. Menurut Andhika, ini salah satunya karena mereka lebih sering terpapar bahan-bahan karsinogenik.

Di sisi lain, mereka dengan sistem imun yang terganggu atau orang yang mengonsumsi obat yang menekan sistem kekebalan tubuh lebih sering mengalami limfoma. Juga, orang yang mengembangkan infeksi tertentu berhubungan dengan peningkatan risiko limfoma, termasuk virus Epstein-Barr dan infeksi Helicobacter pylori.

Pentingnya skrining

Wanita dengan riwayat keluarga terkena kanker terutama yang menyerang organ reproduksi disarankan melalukan skrining yakni saat berusia 20 tahun ke atas.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti mengatakan Pemerintah memperbaiki laboratorium kesehatan masyarakat guna memenuhi layanan skrining yang ditargetkan meliputi 14 penyakit penyebab utama kematian dan berbiaya besar dan kanker termasuk salah satunya.

Kementerian Kesehatan melalui skema Jaminan Kesehatan Nasional menjamin pembiayaan gratis untuk skrining 14 jenis penyakit di Puskesmas, salah satu di antaranya program layanan skrining kanker.

Tak hanya itu, Pemerintah juga meningkatkan upaya pencegahan kanker di masyarakat, salah satunya dengan menggencarkan pentingnya rutin beraktivitas fisik rutin.

"Karena selama ini aktivitas fisik kurang, merokok tinggi, konsumsi garam, gula, lemak tinggi dan zat penyebab kanker," kata Eva.

Langkah selanjutnya, yakni bagaimana mengawasi produk makanan dan minuman agar lebih baik lagi untuk ke depannya. Hal ini demi menciptakan lingkungan yang lebih baik dan lebih sehat.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023