... keberadaan BUMN yang diatur oleh UU Nomor 19 Tahun 2003 sama sekali tidak mengarah pada praktik kapitalis yang merugikan masyarakat.
Jakarta (ANTARA) - Ide mengonversi BUMN dari badan hukum persero menjadi badan hukum koperasi beberapa hari ini menjadi bahasan yang menyedot perhatian di kalangan masyarakat.

Wacana konversi BUMN menjadi koperasi ini merupakan kata lain dari upaya mengubah badan hukum persero menuju kepemilikan demokratis oleh rakyat secara langsung melalui jalan koperasi, tujuan sebagaimana gagasan tersebut yakni agar rakyat tetap memiliki kendali atas aset strategis negara.

Dari wacana ini dapat dipahami bahwa konversi BUMN menjadi koperasi bertujuan agar rakyat tidak menjadi korban komersialisasi dan komodifikasi BUMN. Selanjutnya juga agar BUMN menjadi lebih transparan dan demokratis.

Alasan selanjutnya agar rakyat juga dapat turut berpartisipasi aktif secara luas dalam aktivitas BUMN serta turut menikmati usaha-usaha BUMN secara langsung.

Intinya adalah agar rakyat dalam kehidupan berekonomi menjadi subjek sehingga ekonomi rakyat meningkat dan kemakmuran bukan hanya dinikmati segelintir orang, namun oleh seluruh rakyat Indonesia.

Secara makro gagasan ini ingin konversi koperasi menjadi BUMN mampu mengikis kesenjangan ekonomi. Pada Maret 2023, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan Rasio Gini sebesar 0,388. Angka ini meningkat 0,007 poin dibandingkan September 2022 sebesar 0,381 dan meningkat 0,004 poin dibandingkan dengan Maret 2022 sebesar 0,384.

Termasuk untuk mengurangi kesenjangan rasio Gini di Indonesia yang angkanya dinilai masih relatif tinggi yakni 0,77 (skala 0-1).

Dari empat keluarga konglomerat, kekayaannya sama dengan 100 juta rakyat Indonesia (Oxfam, 2022) dan menurut FAO, ada 16,2 juta rakyat yang pergi tidur dengan perut kosong.

Dengan dalil di atas gagasan tersebut menyimpulkan bahwa upaya pemerataan pendapatan dan kekayaan rakyat melalui "kooperativisasi" BUMN bisa mencegah kehancuran bangsa dan negara dan dari kecemburuan sosial akibat kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi.

Gagasan itu juga menyimpulkan secara sederhana yang dimaksud dengan mengkoperasikan BUMN adalah sama dengan upaya memprivatisasi atau mengkorporatisasi BUMN yang sejak 2003, dari yang semula berupa badan hukum yang melekat dengan badan hukum publik Pemerintah Pusat berupa perusahaan jawatan (perjan) dan perusahaan umum (perum) diganti dengan badan hukum privat yang bernama perseroan (PT).

Dikatakan pula bahwa pergantian badan hukum diatur dalam Pasal 9 UU BUMN. Konversi menjadi koperasi cukup dilakukan dengan perubahan pasal dalam UU BUMN dari persero atau perum menjadi berbadan hukum koperasi.


Filosofi Koperasi

Menurut International Cooperative Alliance (ICA) 1995, koperasi adalah perkumpulan otonomi dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi ekonomi, sosial, dan budaya bersama melalui perusahaan yang mereka kendalikan secara demokratis.

Pengertian koperasi, menurut ICA, selaras dengan sejarah koperasi modern. Koperasi atau co-op sebagai organisasi modern pertama berdiri pada tahun 1844 oleh 28 buruh pabrik tenun, tepatnya pada 22 Desember, di Toadlane, Rochdale, Inggris yang kemudian dikenal sebagai Pioneer Rochdale, para perintis koperasi konsumen pertama di dunia ini.

Di luar sektor koperasi konsumsi, ada rintisan-rintisan jenis koperasi lain yang hingga saat ini memegang peranan penting.

Misalnya Raiffisien, Wali Kota Flankesfare di Jerman, dia mengambil inisiatif mendorong petani-petani di sekitar kota untuk membentuk koperasi kredit.

Schulze Delitzcsh, hakim yang mengambil inisiatif serupa dengan memberi modal awal bagi berdirinya koperasi kredit (volkbank) di Jerman.

Juga Alfonso Desjandin, wartawan terkemuka dan juga seorang anggota parlemen yang aktif membantu koperasi kredit di Kanada. Kemudian E.A Filene, seorang pedagang kaya yang dengan caranya sendiri menunjukkan keberpihakan pada orang kecil dan usaha kecil melalui pendidikan pengorganisasian yang kemudian ia namakan “Credit Union” atau kumpulan orang-orang yang saling percaya di Madison, Wiconsin, USA.

Para perintis-perintis koperasi tersebut telah pula memberikan satu landasan ide, etika, dan prinsip dasar yang kokoh bagi para penerus-penerusnya yang kemudian dikenal sebagai nilai-nilai dan prinsip koperasi sebagai identitas koperasi dunia.

Suatu pedoman terutama untuk menentukan strategi dan sebagai alat ukur dalam pencapaian komunitas atau organisasi secara bertahap dan berkelanjutan menuju sistem masyarakat partisipatif yang berkeadilan sebagaimana dicita-citakan oleh koperasi awal.

Penulis berpendapat ide "kooperativisasi" ini bertentangan dengan nilai, prinsip, dan jati diri koperasi itu sendiri.

Koperasi dibangun atas swadaya bersama, oleh karena itu secara bersama-sama anggota memiliki cita-cita yang sama, kepentingan yang sama, dan usaha dikelola bersama.

Marilah melihat kembali landasan utama diadakannya Kongres ICA tahun 1995 yang bertepatan 100 tahun berdirinya koperasi Rochdale.

Kongres ICA ini adalah bentuk dari kerisauan dari fenomena yang terjadi di dunia dengan kecenderungan penyelewengan terhadap jati diri koperasi di berbagai negara.

Beberapa bentuk penyelewengan yang terjadi saat itu, antara lain, terjadi penyelewengan di Eropa Timur, koperasi kehilangan dominasi karena kuatnya campur tangan pemerintah, penyelewengan di Eropa Barat dan Amerika Serikat dengan pergeseran dari perkumpulan orang-orang menjadi perkumpulan modal, dan penyelewengan di negara-negara berkembang dengan pergeseran dari prinsip kemandirian menjadi ketergantungan kepada bantuan dan inisiatif pemerintah.

Penulis memaknai ide "kooperativisasi" BUMN jika betul-betul dilakukan dengan kebijakan pemerintah sama saja dengan mematikan koperasi. Koperasi berdiri atas inisiatif individu untuk menolong diri sendiri (self help). Nilai-nilai koperasi yang luhur yang datang dari bawah hilang karena adanya gift pemerintah.

Tentu semua masih ingat kebijakan top down dalam pengembangan koperasi pada masa Orde Baru, niat bagus untuk mengembangkan koperasi justru ternoda oleh banyak moral hazard dari pelaku koperasi saat itu. Masyarakat tidak bisa melupakan sejarah begitu saja.

Coba lihat betapa pesatnya perkembangan koperasi kredit atau credit union di tanah air. Awal mula kehadirannya CU yang justru tidak mendapatkan izin pemerintah, tetapi dengan semangat kuat swadaya mereka, saat ini mampu mengakumulasi lebih dari empat juta anggota.

Besarnya CU karena ia dilandasi dengan lima pilar koperasi, pertama swadaya. Credit union tidak mendapatkan modal dari lembaga lain, melainkan menghimpun dananya melalui simpanan anggota dan hanya memberikan pinjaman kepada anggota yang berwatak baik. Kedua, setia kawan (solidaritas).

Credit union merupakan kumpulan orang yang saling percaya, sehingga kesetiakawanan sosial antar anggota sangat diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidupnya.

Pilar ketiga, pendidikan. Credit union memberikan pendidikan untuk menyadarkan atau membebaskan anggota dari kesulitan ekonomi, agar anggota memiliki pola pikir positif dalam mengelola keuangan untuk meningkatkan harkat hidup.

Keempat, inovasi. Salah satu poin penting dalam perkembangan credit union adalah inovasi. Inovasi diperlukan sebagai jalan menuju kemajuan yang berkelanjutan untuk semakin memenuhi tuntutan zaman.

Pilar kelima, persatuan. Credit union satu dengan yang lainnya saling terhubung dengan ikatan pemersatu yang sama, kerja sama antar- credit union dapat memperkuat gerakan koperasi kredit sehingga semakin dapat memudahkan memperkuat sosial ekonomi semua anggota koperasi kredit.

Adanya ide dasar "kooperativisasi", penulis melihat ada upaya instan untuk membangun koperasi yang sebetulnya akan lepas dari prinsip, nilai, dan jati diri koperasi.

Mari kembali dengan ide dasar kongres di Manchester Inggris untuk dapat menjawab dua tema pokok yakni kembali pada nilai dan jati diri koperasi dan menempatkan koperasi sebagai badan usaha atau perusahaan (enterprise) dengan pengelolaan demokratis dan pengawasan bersama atas keanggotaan yang terbuka dan sukarela.

Jalan ini tentu bukan dengan "kooperativisasi" BUMN menjadi koperasi tetapi dengan membangun koperasi yang telah ada dengan konsep pengelolaan good cooperative  governance (GCG).

Gerakan koperasi koperasi Indonesia harus kembali pada nilai menjunjung tinggi etika (ethical values) yaitu kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial, dan kepedulian kepada pihak lain (honesty, openness, social responsibility and caring of others (ICA, 1995).


Solusi

Penulis melihat keberadaan BUMN yang diatur oleh UU Nomor 19 Tahun 2003 sama sekali tidak mengarah pada praktik kapitalis yang merugikan masyarakat.

Dalam berbagai sisi pengelolaan BUMN telah dilakukan dengan konsep GCG. Praktik yang dilakukan oleh BUMN hari ini juga telah memberikan manfaat untuk masyarakat dan pembangunan bangsa ini.

Koperasi yang diatur dengan UU Nomor 25 Tahun 1992 juga telah berjalan dengan jalur yang benar. Penulis yakin beberapa tahun ke depan akan muncul koperasi-koperasi besar yang muncul dari inisiatif keswadayaan seperti semakin majunya CU saat ini.

Kedua badan hukum ini tidak perlu saling meniadakan karena BUMN di bawah Kementerian BUMN telah berjalan dengan baik dan koperasi di bawah Kementerian Koperasi dan UKM juga telah berjalan dengan baik pula.

Justru keduanya harus bersinergi membangun kemajuan bangsa ini.


*) Sularto Aras Hamka adalah Penulis Buku Koperasipreneur, Pendiri Asosiasi Manajer Koperasi Indonesia (AMKI), dan Wakil Kepala Sekretariat Perusahaan PNM.
 

Copyright © ANTARA 2024