Hal ini dimungkinkan karena belum adanya jangkauan hukum bagi PRT korban kekerasan
Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan menyebut angka kekerasan yang menimpa Pekerja Rumah Tangga (PRT) semakin tinggi dan proses hukum terhadap PRT mengalami banyak pengecualian.

"Hal ini dimungkinkan karena belum adanya jangkauan hukum bagi PRT korban kekerasan," kata Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia Salampessy dalam webinar, di Jakarta, Selasa.

Olivia Salampessy mengatakan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang telah berusia dua dekade sejak disahkan tahun 2004, secara jelas menyatakan PRT termasuk yang dilindungi oleh UU PKDRT. Namun belum dapat diimplementasikan pada PRT korban kekerasan.

Baca juga: Kemnaker optimistis UU PPRT mampu tekan pelanggaran PRT

"Ketiadaan penanganan kasus kekerasan yang dialami PRT melalui UU PKDRT mengakibatkan adanya kekosongan payung hukum untuk melindungi, memberikan keadilan, dan pemenuhan hak-hak PRT sebagai pekerja," katanya.

Untuk itu pada 2004 Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) diajukan ke DPR RI. Namun hingga kini RUU PPRT masih belum juga disahkan.

"Bahkan belum sama sekali memasuki tahap pembahasan tingkat satu. Kami berpandangan tahun 2024 ini merupakan masa kritis pembahasan RUU PPRT, karena jika pada tahun ini tidak ada satu nomor DIM pun dari RUU PPRT yang dibahas dan disepakati di pembahasan tingkat satu DPR RI, maka RUU PPRT akan non carry over," kata Olivia Salampessy.

"Ini berarti kita harus memulai lagi dari nol untuk pengusulan RUU PPRT ke proses legislasi," ucapnya.

Baca juga: Pemerintah optimistis RUU PPRT bisa disahkan jadi UU tahun ini
Baca juga: Hari PRT Nasional momentum ingatkan RUU PPRT agar segera disahkan

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024