Denpasar (ANTARA News) - Mohamad Cholily alias Hanif alias Yahya Antony (28), salah seorang dari empat terdakwa kasus bom Bali 2005, dalam sidang di Pengadilan Negeri Denpasar, Selasa, dituntut hukuman 15 tahun penjara potong masa tahanan. Dalam sidang yang molor hampir lima jam dari jadwal semula pada pukul 09.00 Wita, Cholily yang mengenakan baju koko warna putih tampak cukup tenang mendengar tuntutan hukuman yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Jaksa Suhadi SH dalam nota tuntutannya di hadapan sidang yang dipimpin Hakim Ketua IGN Astawa SH menyatakan, terdakwa Cholily bersalah telah secara bersama-sama dengan sejumlah kawannya melakukan aksi peledakan bom di Jimbaran dan Kuta, 1 Oktober 2005. Aksi yang dilakukan terdakwa bersama-sama sejumlah rekannya yang tergabung dalam organisasi rahasia Al-Jemaah Al-Islamiah (JI) itu mengakibatkan 20 tewas dan 151 lainnya mengalami luka-luka. Menurut jaksa, sebagai anggota JI yang dibai`at tahun 1999, Cholily tidak saja sempat berlatih merakit bom, tetapi juga sempat tinggal serumah dengan gembong teroris Dr Azahari (almarhum) dan Noordin M. Top yang buron hingga kini. "Beberapa pekan sebelum, dan setelah bom meledak di Bali, terdakwa sempat tinggal bersama Dr Azahari dan Noordin M. Top di rumah kontrakan Jalan Flamboyan Batu, Malang, Jawa Timur," ucap JPU. Saat berlatih dan merakit bom di bawah bimbingan Dr Azahari, Cholily juga bertindak selaku pembeli sejumlah bahan baku untuk merangkai bom. "Terdakwa beberapa kali sempat membeli peralatan untuk membuat rangkaian bom. Barang yang dibeli di Toko Zig-Zag dan Toko Bintang Harapan Watch di Malang itu, antara lain baterai, resitor dan timer digital QQ," kata Suhadi. JPU mengungkapkan, rumah yang ditempati Dr Azahari bersama Arman (almarhum) di Batu, Malang tersebut, adalah hasil usaha terdakwa Cholily bersama Teddy (buron) dalam mencarikan rumah kontrakan untuk si buronan yang adalah gembong teroris berkewarganegaraan Malaysia. "Terdakwa dan rekannya Teddy yang mencarikan rumah kontrakan untuk Dr Azahari dengan harga sewa Rp3 juta per bulan, terhitung sejak Juli 2005," ujar jaksa. Menurut jaksa, selama menghuni rumah kontrakan, baik Cholily maupun Teddy dan Arman, kepada pengurus Rukun Warga (RW) setempat memperkenalkan diri dengan nama samaran, serta masing-masing mengaku sebagai mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang. Sementara itu, menurut JPU, Dr Azahari tidak sempat dilaporkan sebagai orang yang turut menghuni rumah kontrakan tersebut. Di rumah kontrakan di Jalan Flamboyan A1 Nomor 7 Batu, Malang, Jawa Timur, itulah, terdakwa bersama Dr Azahari dan rekannya ambil bagian dalam merakit sejumlah bom. Selanjutnya, kata jaksa, pada bulan September 2005, Noordin M. Top yang diantar Teddy datang ke rumah kontrakan dan tinggal selama kurang lebih tiga minggu di tempat itu. Akhir September 2005, Noordin M. Top dan Teddy pergi meninggalkan rumah kontrakan dengan membawa sejumlah bom hasil rakitan Dr Azahari yang dikerjakan bersama-sama dengan Arman dan terdakwa Cholily. Belakangan hari atau beberapa pekan setelah bom meledak di Jimbaran dan Kuta, 1 Oktober 2005, Dr Azahari dan Arman tewas dalam penyergapan aparat keamanan di rumah kontrakan di Malang. Melihat rentetan perbuatan seperti itu, jaksa mengemukakan, Cholily adalah terdakwa yang tahu persis sejak tahap perencanaan dari aksi bom Bali II yang meletus 1 Oktober 2005 sekitar pukul 18.30 Wita. Oleh karena itu, JPU menegaskan, terdakwa dijerat dengan pasal 6 Undang Undang Nomor 15 tahun 2003 tetang pemberantasan tindak pidana terorisme, jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Untuk itu, jaksa menuntut, agar terdakwa dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dipotong selama berada dalam tahanan. Hakim memberikan kesempatan kepada terdakwa yang didampingi tim pemasehat hukum diketuai Mujito Rachman SH menyampaikan pledoi (pembelaan) atas tuntutan jaksa, dan menunda persidangan hingga sepekan mendatang. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006