Jakarta (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengoptimalkan peran tim pendamping keluarga (TPK) untuk mendampingi 199.877 keluarga di Banten yang tidak memiliki jamban layak.

"Sebanyak 199.877 keluarga di Banten tidak memiliki jamban yang layak. Ada sebanyak 8.136 TPK dengan jumlah keluarga dengan risiko stunting mencapai 412.532 keluarga. Ini berarti target sasaran pendampingan per TPK adalah 51 keluarga," kata Koordinator Satuan Tugas Percepatan Penurunan Stunting Provinsi Banten Ricky Febrianto dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

Ia menjelaskan, data jamban yang layak sangat penting untuk diketahui, sebab faktor risiko yang mudah diamati dan signifikan dalam mempengaruhi terjadinya stunting adalah sanitasi, akses air bersih, kondisi "4 Terlalu" (terlalu muda atau terlalu tua melahirkan, terlalu dekat jarak kelahiran, dan terlalu banyak anak), serta kepesertaan KB modern.

Untuk itu, BKKBN terus berupaya mengoptimalkan peran TPK guna mendampingi keluarga berisiko stunting dengan jamban yang tak layak untuk mencegah risiko penyakit-penyakit yang dapat ditimbulkan dan dapat memicu stunting.

Ia memaparkan, sekitar 12 persen atau 49.408 keluarga di Banten tidak memiliki sumber air minum utama yang layak, 70 persen atau 325.857 keluarga berada pada kategori risiko "4 Terlalu", dan 62,7 persen atau 258.561 keluarga bukan peserta KB modern.

"Data keluarga risiko stunting (KRS) bisa dijadikan peta kerja TPK dalam melaksanakan pendampingan, mulai dari pembagian tugas tim, melaporkan update data, menyusun skala prioritas pendampingan hingga memetakan keluarga sasaran pendampingan," tuturnya.

Sementara itu, Kepala BKKBN Banten Rusman Efendi menegaskan tahun 2024 menjadi tahun penentu tercapainya target penurunan stunting sesuai mandat Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024 yakni 14 persen.

Baca juga: Ahli gizi: Pola asuh dan makanan jadi faktor masalah gizi pada anak RI

Baca juga: Marsudi apresiasi sambutan pemerintah pada Aksi Zero Stunting KPRK MUI

Baca juga: BKKBN RI kembalikan 114 PPPK untuk bertugas di Sulsel


"Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting juga memperkuat upaya percepatan penurunan stunting secara holistik, integratif, dan berkualitas, yang dilakukan melalui koordinasi, sinergi, dan sinkronisasi antarpemangku kepentingan," kata dia.

Ia menambahkan, pendekatan berbasis keluarga berisiko stunting merupakan strategi untuk memastikan bahwa intervensi yang dilakukan baik spesifik maupun sensitif dapat tepat sasaran dan menjangkau seluruh keluarga dengan risiko melahirkan anak stunting.

"Sinergisitas pemutakhiran data dan verifikasi dan validasi data keluarga risiko stunting sangat penting dan strategis dalam pelaksanaan intervensi penanganan stunting di seluruh tingkatan wilayah. Data KRS ini harus tersampaikan dengan baik kepada tim percepatan penurunan stunting baik di tingkat provinsi maupun desa," tuturnya.

Data KRS, menurut dia, juga akan memudahkan petugas di lapangan untuk menjangkau langsung ke titik sasaran sehingga dapat mencegah lahirnya stunting baru.

Rusman menyebutkan, saat ini persentase jumlah keluarga dengan risiko stunting berdasarkan hasil pemutakhiran verifikasi dan validasi tahun 2022 sebesar 28,91 persen atau sebanyak 532.580 keluarga, lalu turun menjadi 21,95 persen atau 412.535 keluarga di 2023.

"Untuk itu, perlu ada diseminasi data sebagai upaya menuju satu data provinsi Banten yang lebih akurat, mutakhir, terpadu, dapat dipertanggungjawabkan, dan mudah diakses untuk percepatan penurunan stunting," kata dia.

Baca juga: Wapres minta MUI tampil jadi mitra pemerintah untuk penurunan stunting

Baca juga: Kepala BKKBN promosikan cegah stunting lewat wayang di Jawa Tengah

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024