Jakarta (ANTARA) - Intens, tajam dan kuat. Tiga kata itu dapat mendeskripsikan secara jelas film Women from Rote Island.
 

Film yang menjadi film cerita panjang terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) tersebut, mengajak penontonnya untuk mengikuti perjalanan kisah keluarga Mama Orpa (Linda Adoe), yang baru saja kehilangan suaminya berjuang untuk mendapatkan keadilan bagi anaknya yang mengalami kekerasan.
 

Putri sulungnya, Martha (Irma Rihi) yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI), pulang dalam keadaan trauma berat dan depresi. Penyebabnya diketahui karena Martha telah menjadi korban kekerasan oleh majikannya di Malaysia.

Baca juga: Pemain Women from Rote Island perbanyak riset guna dalami peran

Baca juga: Linda Adoe ajak anak NTT percaya diri dan gali potensi bakat terpendam

 

Sedangkan di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT), ia menjadi korban kekerasan seksual dari beberapa laki-laki bejat. Kondisi Martha membuat Orpa menyesal tidak bisa menjaga anaknya sebaik mungkin.
 

Dalam film penonton akan dihadapkan dengan realitas kekerasan seksual di Indonesia Timur. Termasuk keadaan sistem hukum, kondisi sosial, dan budaya yang masih menghadang upaya untuk memberikan keadilan kepada para korban.
 

Sang sutradara, Jeremias Nyangoen menjelaskan situasi TKI di Indonesia Timur dengan audio-visual yang amat intens. Suasana di lingkungan sekitar keluarga Orpa disorot dengan detail, membuat penonton seakan ikut berlari dan merasakan peristiwa nahas yang dialami keluarga tersebut.
 

Film yang akhirnya ‘pulang kampung’ setelah melalang buana ke banyak negara dan bakal tayang di bioskop pada tanggal 22 Februari 2024 mendatang itu, punya beberapa bagian adegan di dalamnya.
 

Masing-masing bagian membahas tiap masalah yang dihadapi oleh Orpa dan anak-anaknya. Di sini, raut wajah pemain seperti ketika Martha pulang ke kampung halaman, benar-benar secara lugas diperlihatkan, hingga kita dapat langsung mengetahui bahwa ia mengalami sebuah luka batin yang sulit untuk disembuhkan.
 

Sayangnya, terdapat beberapa adegan lain yang ditampilkan dalam film secara vulgar mungkin akan membuat penonton sedikit merasa tidak nyaman.
 

Kemudian, interaksi tiap tokoh dengan warga memberi gambaran jelas, betapa minimnya pendampingan dan fasilitas rehabilitasi yang disediakan pemerintah untuk para korban kekerasan seksual, khususnya di Pulau Rote Ndao.
 

Berbicara soal warga, tim produksi tidak lupa menyorot keindahan alam di Rote Ndao. Jeremias banyak menggunakan one shot long take (teknik kamera) untuk mengintepretasikan kekayaan alam di sana. Mulai dari bukit tempat hewan ternak berjalan-jalan, sampai pantai bersih dengan langit biru semua seakan mengajak kita berjalan-jalan menikmati suasana tempat tinggal Orpa.
 

Belum lagi adat dan kebudayaan Rote yang dengan santai ditampilkan begitu saja. Misalnya ada tarian yang dilakukan penduduk untuk menghibur diri selepas suami Orpa meninggal atau proses penguburan berdasarkan agama Kristen yang diketahui menjadi agama mayoritas di Nusa Tenggara Timur.
 

Keindahan kain tenun berbagai corak juga diperlihatkan ketika warga beraktivitas atau pajangan di rumah. Begitu pula dengan perumahan warga yang kebanyakan masih terbuat dari kayu dan bambu.
 

Bicara audio, satu per satu backsound-nya dibuat sendiri. Ada dua lagu yang paling sering dimainkan yakni nyanyian adat dan dentingan piano yang lembut. Alunan backsound yang intens itulah yang nantinya akan membuat penonton seakan betul-betul merasakan musibah yang menimpa Orpa dan Martha.

Baca juga: Women from Rote Island ajak masyarakat hentikan kekerasan seksual

Baca juga: "Women from Rote Island" jadi Film Cerita Panjang Terbaik FFI


Terakhir, pesan yang ingin disampaikan juga mudah dipahami. Beberapa kali pesan itu diucapkan pemain agar diserap sebaik-baiknya oleh masyarakat.

"Semua orang lahir dari kelamin yang berdarah," kata film itu.

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2024