Jakarta (ANTARA) - Anak bungsu Presiden Pertama RI, Mohammad Guruh Irianto Soekarnoputra, mengisahkan masa kecilnya yang dididik untuk terus dekat dengan rakyat oleh kedua orang tuanya, Soekarno dan Fatmawati.

"Waktu taman kanak-kanak (TK), di halaman Istana Merdeka ada gazebo antara Istana Merdeka dan Istana Negara, di situlah dijadikan TK, dan teman saya itu mulai dari pegawai rendahan sampai yang tinggi, misalnya anak-anak tukang kebun, koki, pelayan istana, hingga menteri, duta besar, dan pegawai sekretariat negara," kata Guruh dalam diskusi daring di Jakarta, Senin.

Diskusi sejarah lisan sebagai sumber sejarah dan materi film dokumenter tentang Presiden Soekarno digelar oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk melengkapi narasi tentang Presiden pertama RI tersebut dari kisah-kisah yang dituturkan oleh anggota keluarganya.

"Kehidupan di Istana Merdeka itu, saya merasa biasa-biasa saja, dan merasa bersyukur sampai sekarang atas cara orang tua kami mendidik, baik ibu maupun bapak. Saya merasa dari kecil, tidak ada perasaan lain sebagai anak Presiden, biasa saja," ujar dia.

Ia mengemukakan, salah satu hal yang membuat ia merasa berbeda sebagai anak Sang Proklamator tersebut, yakni kehidupan yang terikat dengan protokoler.

Baca juga: ANRI desain pusat studi arsip Presiden Soeharto mulai tahun ini

"Bedanya hanya apa yang dilakukan oleh orang tua saya, karena itu sudah jadi aturan negara, saya dari lahir sampai keluar istana, kehidupan saya terikat dengan protokol, tetapi hal tersebut membuat kami merasa dididik menjadi orang yang rendah hati," tuturnya.

Ia juga mengaku, sejak duduk di bangku TK hingga SD, dirinya sudah memiliki kesadaran bahwa rumah yang ditinggali bukanlah rumah pribadi kedua orang tuanya, melainkan rumah negara.

"Kalau di masa kecilnya anak-anak suka corat-coret tembok, kami (anak-anak Soekarno dan Fatmawati) sudah mengerti bahwa untuk menjaga bapak/ibu, kami tidak boleh terlalu bagaimana-bagaimana begitu, enggak enaknya kami memang seperti hidup dalam sangkar, begitu turun dari tangga istana menuju taman, itu sudah harus ada yang 'menguntit' atau mengawal," paparnya.

Soal pengasuh, ia juga menceritakan bahwa pengasuhnya bernama Suminah Sastrowijoyo, dimana suaminya adalah seorang ningrat dari Keraton Surakarta, dan Suminah adalah seseorang yang buta huruf.

"Kami memanggilnya Nek Joyo. Dari Nek Joyo, saya dari kecil sudah bisa belajar menyelami kehidupan rakyat kecil dan alam pikirannya rakyat, itu satu. Kedua, saya mendapatkan didikan tentang kesetiaan mengabdi kepada bangsa dan negara," kata dia.

Selain itu, lanjut dia, juga banyak hal-hal yang diajarkan oleh Nek Joyo, misalnya ketika dirinya merasa kurang nyaman dengan protokoler, Nek Joyo selalu menasihati bahwa sebagai manusia, kita harus selalu bersabar, karena ada saatnya kita bisa merdeka.

"Ini terlihat biasa saja, tetapi berdampak. Saya dari kecil sudah bisa meresapi rasanya menjadi orang yang tidak merdeka, dan pada tahun 1961 saat Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora), saat kita merebut Irian Barat, di situ kami sudah mengerti bahwa kita harus memerdekakan saudara-saudara kita yang masih dalam belenggu penjajahan Belanda," ucapnya.

Ia juga mengutarakan bahwa dirinya sangat bersyukur dengan cara orang tuanya yang selalu mendidik lewat perbuatan.

"Begitulah cara orang tua saya mendidik tentang kebudayaan, politik, dan lain sebagainya. Saya merasa Bung Karno dan Ibu Fatmawati itu mendidiknya tidak secara verbal, tetapi selalu dengan perbuatan," ucap Guruh.


Baca juga: ANRI kisahkan pemilu pertama tahun 1955 berdasarkan dokumentasi arsip

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024