Setelah terombang-ombing di lautan, pada hari kelima bahan bakar sudah habis dan berakibat pada tidak terkendalinya kapal dan akhirnya tenggelam sekitar 200-300 kilometer dari pantai."
Jakarta (ANTARA News) - Hingga kini korban tewas akibat tenggelamnya kapal pengangkut imigran gelap asal Irak dan Lebanon yang tenggelam di Pantai Cikole, Desa Sinar Laut, Kecamatan Agrabinta, Kabupaten Cianjur, Jabar, pada Jumat (27/9), mencapai 41 orang.

Musibah itu merupakan kejadian yang berulang karena pada 24 Juli 2013, kapal pengangkut 204 imigran gelap tenggelam di Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur, Jabar, hingga menewaskan 18 orang. Bahkan Polda Jawa Barat juga menetapkan empat tersangka terkait kejadian tersebut.

Para imigran gelap itu dikabarkan hendak mencari penghidupan lebih layak di Australia setelah negara asalnya dilanda konflik hingga hidup mereka dicekam rasa takut meski tidak sedikit pula faktor ekonomi menjadi salah satu alasan untuk menyeberangi Samudera Hindia yang terkenal akan keganasan ombaknya itu.

Tetapi mengapa kapal pengangkut imigran gelap itu selalu karam di perairan Indonesia? Mereka hendak ke Pulau Chrismast yang masuk dalam teritori Australia. Posisi Pulau Chrismast sendiri dengan wilayah Kabupaten Cianjur Selatan, "bak sepelemparan batu" karena jaraknya sekitar 200 mil laut atau setara 260 kilometer. Cukup dekat sekali.

Terlepas dari itu semua, peristiwa itu sangat memilukan ketika melihat anak-anak balita dan kaum hawa menjadi korban dengan terombang-ambing di tengah samudera yang luas itu. Hal itu harus segera diantisipasi agar tidak terulang lagi, dan Indonesia selalu menjadi korban dari maraknya aksi imigran gelap yang hendak ke Australia.

Bukankah Pemerintah Australia juga harus turut bertanggung jawab dari aksi imigran gelap itu?

Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Hikmahanto Juwana mengharapkan ke depan pengembalian pengungsi atau imigran gelap yang dievakuasi oleh kapal Australia ke Basarnas, harus dihentikan dan ditolak.

"Seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyampaikan Indonesia telah terbebani dengan imigran gelap. Australia jangan mengambil enaknya saja," katanya melalui pesan singkatnya di Jakarta, Selasa.

Ia menambahkan Perdana Menteri (PM) Tony Abbott punya program untuk menggelontorkan uang 420 juta dolar Australia dan "turn back boat policy" dengan "Operation Sovereign Borders"-nya.

Kemudian, kata dia, ketika dilantik Abbott langsung menunjuk perwira bintang tiga untuk mengomandoi operasi tersebut.

"Saya menyuarakan ini demi NKRI," kata Hikmahanto Juwana.

Ia juga mengomentari soal adanya protes keras dari Basarnas atas pernyataannya terkait pengungsi dan imigran gelap itu dan ia mengatakan diri tidak menuduh pribadi-pribadi di Basarnas dan dikatakan patut diduga menanggapi Basarnas yang tidak terima dengan pernyataan dirinya soal penanganan pengungsi dan imigran gelap.

"Saya tidak menuduh pribadi-pribadi di Basarnas dan saya katakan patut diduga," katanya.

Ia menyatakan soal pernyataan dugaan terhadap Basarnas itu berdasarkan pantauan di media Australia bahwa para imigran gelap mengontak otoritas Australia bukan Basarnas.

Lalu setelah hampir 24 jam kapal bantuan Australia baru datang, namun anehnya setelah itu kapal Basarnas datang. "Siapa yang kontak Basarnas? Yang pasti bukan para imigran," katanya.

Setelah berada di kapal Australia, kenapa kemudian Basarnas mau terima imigran gelap.

"Kalau yang dua WNI ok lah," katanya.

Sementara itu, Basarnas akan melayangkan surat tuntutan hukum kepada Prof Dr Hikmahanto Juwana yang telah menuding lembaga itu menerima uang dari Australia terkait penanganan pencari suaka dan pengungsi asal Timur Tengah.

"Surat tersebut akan segera kami kirimkan, perkara akan damai ataupun ditindaklanjuti semua tergantung dari yang bersangkutan. Apabila ingin damai, saya akan menerima dengan tangan terbuka. Tetapi beliau harus mempertanggungjawabkan statemen yang telah dikatakannya kepada media," kata Kepala Basarnas M Alfan Baharuddin dalam siaran persnya di laman badan tersebut.


Selidiki Oknum

Sementara itu, Kepolisian Republik Indonesia akan menyelidiki oknum-oknum yang diduga memfasilitasi masuknya sejumlah imigran gelap atau pencari suaka yang transit di perairan Indonesia sebelum menuju Christmas Island, Australia.

"Keberadaan mereka (imigran) pasti ada yang mengatur. Nah pihak ini yang sedang kita lakukan penelusuran, penyelidikan dan menentukan pelanggaran yang mungkin dilakukan," kata Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Pol Agus Rianto saat ditemui di Mabes Polri, Jakarta, Selasa.

Agus mengatakan Polri juga akan bekerja sama dengan pihak imigrasi terkait pelanggaran-pelanggaran imigrasi yang dilakukan.

"Tentu teman-teman di imigrasi kan lebih kompeten. Tapi, kalau ada pelanggaran lain, kita koordinasikan lebih lanjut," katanya.

Dia mengatakan imigran tersebut diketahui telah berada di Jakarta selama dua bulan sebelum melakukan pelayaran menuju perairan Banten dan Christmas Island, Australia.

Dia menjelaskan berdasarkan pencarian pada Senin (30/9) hingga pukul 17.30 WIB, ditemukan sebanyak 69 imigran di di Pantai Cikole, Kampung Genggong, Desa Sinarlaut, Cianjur, Jawa Barat.

Agus menyebutkan dari 69 imigran, 28 masih ditemukan dalam keadaan hidup, sementara 41 lainnya tewas tenggelam.

Dari data yang dimiliki Polri, dia juga menyebutkan, untuk korban tewas laki-laki sebanyak 22 orang tiga di antaranya anak-anak, sedangkan untuk perempuan sebanyak 19 orang, lima di antaranya anak-anak.

Dia menjelaskan tewasnya para imigran tersebut karena kapal yang dinaiki kehabisan bahan bakar dan tenggelam.

"Setelah terombang-ombing di lautan, pada hari kelima bahan bakar sudah habis dan berakibat pada tidak terkendalinya kapal dan akhirnya tenggelam sekitar 200-300 kilometer dari pantai," tuturnya.

Agus mengatakan korban tewas saat ini tengah ditangani pihak Rumah Sakit Polri Kramat Jati Sukabumi untuk diidentifikasi.

Sementara itu, empat korban luka-luka dibawa ke RSUD Cianjur dan 24 lainnya telah diserahkan kepada pihak imigrasi Sukabumi.

"Nanti kita koordinasikan dengan kedutaan atau pihak keluarga. Namun demikian, tetap kita koordinasikan dengan kementerian terkait juga pihak kedutaan dan konjen di wilayah tersebut untuk bisa memastikan apakah betul ini warga negaranya," katanya. (R021/KWR)

Oleh Riza Fahriza
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013