perbaikan sistem rekrutmen tersebut agar prosesnya berjalan transparan dan akuntabel. Selain itu agar tidak ada kepentingan politik tertentu yang masuk sehingga calon hakim MK tidak memiliki beban ketika menjabat.
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Fraksi Partai Hanura di DPR, Syarifuddin Sudding, mengusulkan adanya evaluasi terhadap sistem rekrutmen seluruh penyelenggara negara termasuk para hakim Mahkamah Konstitusi.

"Kasus Akil, saya anggap itu kecolongan. Komisi III harus bertanggung jawab dan melakukan evaluasi dalam proses uji kepatutan dan kelayakan seluruh penyelenggara negara," kata Syarifuddin Sudding di gedung DPR, Jakarta, Jumat.

Sudding mengatakan perbaikan sistem rekrutmen tersebut agar prosesnya berjalan transparan dan akuntabel. Selain itu agar tidak ada kepentingan politik tertentu yang masuk sehingga calon hakim MK tidak memiliki beban ketika menjabat.

"Memang benar saat Pak Akil menjabat kedua kalinya dalam proses pemilihannya tidak melalui uji kelayakan dan kepatutan. Hal itu karena terjadi perdebatan sesama anggota Komisi III termasuk saya," ujarnya.

Ia menilai seharusnya proses itu dibuka ke publik sesuai mekanisme yang ada pada saat uji kelayakan dan kepatutan. Namun menurut dia ada anggota Komisi III yang berpandangan tidak perlu uji tersebut kepada Akil karena sudah pernah dilakukan saat pertama kali mencalonkan diri sebagai hakim MK.

"Saya katakan saat itu bahwa uji kepatutan kedua merupakan kesempatan bagi hakim-hakim MK yang sudah menjabat untuk dibuka rekam jejaknya pada saat dia menangani suatu persoalan, apakah saat menangani suatu kasus sudah `on the track` atau tidak," tegasnya.

Selain itu dia menegaskan bahwa tidak jaminan orang non partai politik menjadi penyelenggara tidak terjadi tindak pidana korupsi dan suap. Ia mencontohkan kasus Rudi Rubiandini yang berlatar belakang akademisi namun terkena kasus suap.

"Jadi ini bukan soal orang politik atau bukan, tapi persoalan moral, artinya ketka yang bersangkutan dalam dirinya tidak ada jiwa pengabdian kepada negara maka praktek koruptif tetap terjadi," ujarnya.

Sudding juga menyoroti bahwa seorang penyelenggara negara khususnya presiden harus melepaskan jabatannya di dalam partai politik. Hal itu menurut dia untuk menghindari adanya konflik kepentingan saat menjalankan tugas.

"Presiden dipilih rakyat dan harus bertanggung jawab kepada rakyat. Langkah ini agar jangan mengurus partai terus karena akan banyak kepentingan yang masuk saat dia menjadi penyelenggara negara dan di sisi lain memiliki jabatan di dalam partainya," kata Sudding.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013