Ambon (ANTARA) - Ale rasa beta rasa. Begitulah ungkapan yang bermakna saling menghormati dan menghargai antarsesama. Hubungan persaudaraan yang kental orang Maluku hingga kini masih tertanam dalam jiwa setiap insan Nusa Ina itu.

Bagi orang Maluku ungkapan Ale rasa beta rasa  tak hanya sebuah ungkapan pertemanan atau persaudaraan. Lebih dari itu, mengandung makna perdamaian yang mendalam atas peristiwa kelam yang pernah terjadi di Maluku.

Tanggal 19 Januari 1999 menjadi hari yang tak bisa dilupakan bagi orang Maluku. Perpecahan yang dipicu konflik saat itu seolah menciptakan sekat antarorang Maluku.

Namun Maluku yang terkenal akan kuatnya rasa persaudaraan -- setelah peristiwa kelabu itu -- masyarakatnya tak lantas makin berkonflik. Atas panggilan ikatan persaudaraan yang kuat, konflik tersebut justru membuat masyarakat Maluku mempererat persatuan dan kesatuan di antara mereka.

Tak memandang latar belakang suku ras dan agama, warga Maluku kembali cepat berdamai dan mengubur dalam-dalam konflik yang pernah terjadi di antara mereka.

Terwujudnya perdamaian setelah konflik yang melanda Maluku bersumber dari revitalisasi nilai budaya yang dikandung masyarakat Nusa Ina itu jauh sebelum konflik terjadi. Ungkapan Ale rasa beta rasa, sagu salempeng patah dua, dan potong di kuku rasa di daging seolah menjadi ungkapan yang menyudahi konflik di antara masyarakat Maluku.

Tak hanya itu, nilai pela gandong yang terkandung dalam setiap suku di Maluku juga menjadi inspirasi perdamaian. Banyak kelompok masyarakat Maluku menjalin hubungan persaudaraan antardesa, tanpa melihat latar belakang agama. Nilai persaudaraan inilah yang menjadi pijakan untuk mempertemukan kelompok yang pernah tercerai-berai.
 

Rekonsiliasi warga pascakonflik

Menurut Guru besar Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon, Maluku, Prof. Jhon Ruhulessin, sejarah konflik sosial di Maluku merupakan suatu pelajaran dan pengalaman berharga bagi segenap orang Maluku khususnya, dan Indonesia pada umumnya

"Tanpa pembelajaran itu kita akan salah arah dalam menjalani kehidupan sebagai masyarakat yang majemuk dalam berbangsa dan bernegara dengan asas Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945," katanya.

Sebagai refleksi konflik Maluku 25 tahun lalu, Ruhulessin mengajak seluruh elemen masyarakat terus memperkuat hubungan persaudaraan.

"Mari kita menegaskan komitmen kebangsaan kita, komitmen kemalukuan kita untuk betul-betul menata masa depan. Sebab, konflik itu tidak menyelesaikan permasalahan tapi malah menimbulkan persoalan dan kekerasan baru," jelasnya.

Mantan Ketua Sinode GPM ini, juga mengatakan bahwa pembangunan di Maluku juga sepatutnya dilakukan dari sisi sosial budaya untuk menjaga toleransi antarumat di daerah itu.

Senada dengan Ruhulessin, Ketua Pusat Rekonsiliasi dan Mediasi Maluku Dr. Abidin Wakano berpendapat bahwa masyarakat Maluku juga harus cerdas dalam melihat situasi dan kondisi yang terjadi. Masyarakat diminta tidak mudah terprovokasi dengan rumor yang disebarkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

Konflik kemanusiaan yang melanda Maluku tersebut boleh dikatakan sebagai salah satu konflik sipil terbesar di abad 20. Konflik itu sudah banyak memakan korban jiwa dan harta benda.

Dosen IAIN Ambon ini menepis prediksi banyak orang bahwa pemulihan keamanan pascakonflik membutuhkan waktu 20 sampai 50 tahun. Nyatanya, Maluku bisa kembali normal jauh lebih cepat dibandingkan prediksi banyak kalangan.

"Hanya dalam waktu beberapa tahun saja kita punya kisah sukses yang luar biasa, dan ini menjadi sebuah catatan dan cerita yang baik untuk semua orang," jelasnya.

Oleh sebab itu, Maluku juga harus menjadi laboratorium untuk orang belajar tentang bagaimana mewujudkan perdamaian dalam waktu cepat. Kendati begitu, memang ada satu atau dua hal yang perlu masih dibenahi bersama.

Secara umum Maluku kembali pulih dari konflik sosial dengan waktu yang sangat cepat sehingga pantas menjadi laboratorium perdamaian di Indonesia bahkan di dunia.

Membahas toleransi di Maluku juga tak lepas dari kaum perempuan dan anak yang menjadi kaum rentan akibat konflik yang terjadi itu. Di tengah ketegangan yang terjadi di antara masyarakat Maluku, muncullah Gerakan Perempuan Peduli, yang dipelopori Suster Brigita Renyaan untuk mengonsolidasikan para perempuan lintas agama dalam penyelesaian konflik tersebut. Modal sosial dan persaudaraan yang solid membuat setiap kelompok berjuang untuk mewujudkan perdamaian.

Dokumentasi pascakonflik Maluku yang tersimpan rapi di Museum Gong Perdamaian Dunia Kota Ambon ANTARA/Dedy Azis
Penegak hukum

Kabid Humas Polda Maluku M. Rum Ohoirat  mengatakan  konflik sosial di Maluku membawa banyak dampak kerugian dan kehancuran bagi masyarakat di Maluku sendiri.

Ohoirat menyebut tidak ada satu data resmi yang dirilis terkait dengan korban pada saat itu. Banyak versi terkait dengan korban kerusuhan, namun yang mungkin bisa dijadikan satu patokan yaitu data yang dirilis oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI).

LSI merilis kerusuhan di Maluku memakan korban 8.000 hingga 9.000 jiwa meninggal, 700 ribu warga mengungsi, 29.000 bangunan rumah warga terbakar, 7.046 rumah dirusak, 102 bangunan ibadah (masjid dan gereja) dibakar, 719 bangunan toko dirusak dan dibakar, 38 gedung pemerintah, dan empat kantor bank hancur.

Oleh karena itu, kerusuhan di Maluku harus menjadi pembelajaran dan perhatian semua pihak karena tatanan kehidupan sosial dan ekonomi yang terbangun sejak zaman leluhur menjadi hancur berantakan.

"Antara basudara saling melukai dan membunu. Kita tidak lagi merasakan kehidupan yang damai dan rukun, kala itu," ujarnya

Oleh sebab itu Polda Maluku telah memiliki program unggulan yang merupakan inovasi Kapolda Maluku. Program itu yakni "Basudara Manise" yang bertujuan mewujudkan Maluku yang aman, damai, dan sejahtera.

"'Basudara Manise' artinya mewujudkan persaudaraan di Maluku sehingga tercipta rasa aman dan sejahtera. Kegiatan berupa sambang tokoh baik baik pemuda, tokoh agama, tokoh masyarakat dalam menghadapi suatu permasalahan sekaligus juga sebagai cooling system, terutama dalam suasana Pemilu 2024," ujarnya.

Kini, 25 tahun setelah peristiwa kelam itu, masyarakat Maluku kian merekatkan rajutan kemajemukannya untuk hari ini, esok, dan selamanya.




 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024