Jakarta (ANTARA) - Guru Besar dalam Bidang Dermatologi dan Venereologi, Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia (UI) Prof Dr dr Sandra Widaty mengembangkan instrumen bernama Deskab, berbentuk kuesioner awam untuk memudahkan deteksi penyakit skabies atau dikenal sebagai gudik/buduk.

"Instrumen tersebut kemudian dikembangkan menjadi sebuah aplikasi seluler bernama Aplikasi Deskab, yang ditujukan bagi pengguna awam untuk kasus curiga skabies," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu.

Sandra mengatakan Aplikasi Deskab yang dapat diunduh melalui Google Playstore ini memiliki dua fitur utama, yaitu deteksi dan edukasi skabies. Fitur deteksi menampilkan kuesioner instrumen Deskab, sedangkan fitur edukasi berisi informasi penyebab, cara penularan, tanda dan gejala, pengobatan, serta pencegahan skabies.   

Selain aplikasi Deskab, kata dia, berbagai informasi, animasi, dan video bahan ajar telah diunggah pada laman web www.deskab.fk.ui.ac.id serta kanal YouTube @Deskab. Strategi berikutnya adalah mengadakan pelatihan dalam rangka meningkatkan pengetahuan tenaga nonmedis dalam deteksi dini skabies.

"Penanganan skabies meliputi pengobatan, sistem rujukan berjenjang yang baik, serta pencegahan oleh individu maupun komunitas," ujarnya.

Sandra mengemukakan skabies merupakan penyakit yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei, tungau yang sangat menular terutama melalui kontak langsung. Skabies bukan merupakan penyakit yang mematikan, namun dapat menurunkan kualitas hidup seseorang.

Selain mudah menular, sambungnya, pengobatannya perlu dilakukan dengan anggota keluarga dan/atau komunitas tempat pasien tinggal. Kesulitan memberantas skabies membuat angka prevalensi tinggi di beberapa negara di dunia.

Berdasarkan data Global Burden of Disease Study pada 2015, sambungnya, Indonesia menduduki peringkat pertama negara dengan beban skabies terbesar dari 195 negara. Jumlah kasus terbanyak ditemukan di sekolah berasrama, seperti pondok pesantren dan panti asuhan.

"Sayangnya, terdapat stigma bahwa skabies merupakan penyakit biasa dan wajar diderita santri, dan peran tenaga nonmedis di sekolah berasrama belum optimal dalam melakukan promosi kesehatan," ucapnya.

Kemudian, Sandra juga memberikan beberapa rekomendasi dalam pengendalian skabies di Indonesia. Pertama, merekomendasikan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI agar dapat menetapkan skabies sebagai salah satu penyakit tropis terabaikan atau neglected tropical disease (NTD) dan salah satu prioritas perhatian NTD di Indonesia.

Kedua, mengusulkan penyediaan ragam obat antiskabies secara lengkap, luas, dan terjangkau. Ketiga, mendorong kolaborasi berbagai Kementerian dan Lembaga Negara di Indonesia untuk bersama-sama menangani skabies. Keempat, meningkatkan kolaborasi antar akademisi, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, serta pihak lain.

Selanjutnya, kelima adalah melakukan promosi kesehatan mengenai skabies melalui berbagai platform media. Keenam, mengadakan pelatihan khusus bagi para tenaga nonmedis di berbagai komunitas. Terakhir, mengikutsertakan masyarakat khususnya kader kesehatan yang terlatih untuk melakukan deteksi dini skabies dan merujuk ke fasilitas layanan kesehatan terdekat secara berjenjang.

"Besar harapan dengan beberapa strategi dan rekomendasi tersebut, baik yang telah dilakukan maupun masih dalam bentuk rekomendasi, mempermudah pemberantasan skabies di Indonesia serta mendukung program Menuju Indonesia Bebas Skabies 2030," tutur Sandra.

Baca juga: Pakar: Waspadai demam tifoid hingga leptospirosis pada musim hujan

Baca juga: Waspadai penyakit Kawasaki pada balita, perhatikan tiga tandanya


Baca juga: Guru Besar FKUI: 385 pasien TB di Indonesia meninggal setiap hari

Pewarta: Sean Muhamad
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2024