Prevalensi stunting berdasarkan kelompok umur yang paling rentan mengalami stunting adalah pada saat perpindahan ASI eksklusif dengan MPASI
Jakarta (ANTARA) - Direktur Bina Pelayanan Keluarga Berencana (KB) wilayah khusus Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr Fajar Firdawati menyampaikan bayi rentan mengalami stunting saat perpindahan dari ASI eksklusif ke Makanan Pendamping ASI (MPASI).

"Prevalensi stunting berdasarkan kelompok umur yang paling rentan mengalami stunting adalah pada saat perpindahan ASI eksklusif dengan MPASI," kata Firdawati mewakili Kepala BKKBN dr Hasto Wardoyo pada diskusi yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa.

Untuk itu ia berpesan pencegahan stunting menjadi tugas bersama untuk memastikan ASI eksklusif bisa terpenuhi dengan baik dan nutrisi yang diberikan baik pada ibu hamil atau saat bayi MPASI mengandung protein, juga gizi yang cukup.

"Perkembangan saraf bayi dimulai dari tiga minggu embrio, maka gizi pada ibu hamil sangat penting, utamanya protein yang cukup supaya pembentukan organ-organ yang ada di dalam tubuh janin bisa lebih optimal," ujarnya.

Baca juga: Wapres minta pemda fokus kawal target 'zero' stunting pada 2030

Ia juga menekankan pentingnya pemahaman dan pemenuhan gizi pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) atau usia 0-2 tahun.

"1.000 HPK sangat menentukan karena 80 persen kecerdasan anak terbentuk di masa itu," ucapnya.

Ia juga mengemukakan prakonsepsi (pra-pembuahan) juga masa yang penting bagi calon ibu, sehingga penting  melakukan pemeriksaan kesehatan bagi calon pengantin laki-laki maupun perempuan.

"Menjadi ibu yang kurang gizi juga berisiko terhadap stunting atau juga kondisi di mana lingkungan dengan sanitasi yang kurang memadai juga berisiko terhadap stunting, jadi sebaiknya tiga bulan sebelum menikah diharapkan sudah melakukan pemeriksaan kesehatan," tuturnya.

Ia menegaskan anak yang pendek belum tentu stunting, tetapi stunting pasti pendek.

Baca juga: BKKBN: Penanganan stunting sejak prakonsepsi hingga bayi 59 bulan

"Penyebabnya (stunting) itu malnutrisi, gizi tidak seimbang dalam 1.000 HPK, itulah penyebab stunting. Kita juga mengenal gangguan metabolisme atau hormon, kerdil, atau dwarfisme, itu tidak dikategorikan sebagai stunting, jadi stunting ini memang karena gangguan gizi yang cukup lama," paparnya.

Ia juga mengingatkan Presiden Joko Widodo memiliki visi Generasi Emas Indonesia 2045 yang ditandai dengan SDM unggul, Indonesia Maju.

Tingginya angka stunting, menurutnya, menjadi tantangan yang cukup berat sehingga ditetapkan target penurunan stunting sebesar 14 persen pada tahun 2024 sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting.

"Variasi angka stunting dari tiap provinsi memang bermacam-macam, tetapi kalau dibandingkan dari tahun 2021, kita telah menurunkan angka stunting dari 24,4 persen menjadi 21,6 persen pada tahun 2022, untuk mencapai 14 persen, stunting harus turun 3,8 persen tiap tahun (2023-2024)," katanya.

Baca juga: BKKBN kejar target penurunan stunting dan "unmet need" di tahun 2024


 

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024