Jakarta (ANTARA) - Persoalan polusi masih menjadi pekerjaan rumah bagi Provinsi DKI Jakarta ke depan sehingga perlu menyiapkan berbagai kebijakan untuk menciptakan udara yang lebih bersih.

Kondisi Jakarta yang terkadang masih berada pada peringkat 50 kota dengan tingkat polusi paling buruk di dunia menjadi catatan mengenai pentingnya untuk pengurangan karbon.

Apalagi Indonesia telah meratifikasi tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/ SDGs) yang salah satunya penanganan perubahan iklim (climate action) yang poin-poinnya harus bisa dicapai pada 2065.

Dalam mewujudkan program langit biru di Jakarta, pemerintah di bawah kepemimpinan Pj Gubernur DKI Jakarta terus menggulirkan kebijakan rendah karbon di seluruh lini.

Beleid itu menyasar mulai dari pembuatan pedoman untuk mengalihkan dari energi fosil kepada energi baru terbarukan terhadap seluruh transportasi publik hingga penertiban terhadap kendaraan pribadi yang menyumbang emisi hingga di atas ambang batas.

Pemprov DKI Jakarta menetapkan kendaraan berbahan bakar bensin yang diproduksi sebelum 2007 wajib memiliki kadar karbon nonoksida (CO) di bawah 3,0 persen dengan hidrokarbon (HC) di bawah 700 ppm. Adapun
untuk mobil dengan tahun produksi di atas 2007 wajib memiliki kadar CO di bawah 1,5 persen dengan HC di bawah 200 ppm.

Lalu lintas lancar di DKI Jakarta memberi kontribusi turunnya emisi karbon yang menjadi penyumbang polusi. ANTARA/Ganet Dirgantoro
Saat ini beberapa armada TransJakarta sudah beralih menggunakan bus bertenaga baterai meski bus bertenaga fosil sebenarnya sudah menggunakan mesin berstandar Euro 6.

Tak hanya menyentuh di sektor transportasi publik, di lingkungan Pemprov DKI Jakarta secara bertahap mulai menggunakan kendaraan bertenaga baterai untuk menunjang kegiatan operasional kedinasan.

Terkait hal itu, aturan secara bertahap mulai dipersiapkan yang dimulai dari kendaraan patroli dan pengawalan (patwal) milik Dinas Perhubungan.

Pengurangan karbon juga terus dilakukan dengan memperbanyak stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) di seluruh penjuru wilayah Jakarta dengan tujuan agar warga mulai beralih menggunakan kendaraan listrik sebagai sarana transportasi.

Sosialisasi terkait pengendalian karbon juga terus digencarkan di seluruh sentra industri  yang berada di DKI Jakarta, seperti Marunda, Pluit, Cengkareng, dan lainnya.

Belum lagi dilibatkannya sejumlah pemangku kepentingan di DKI Jakarta untuk ikut serta dalam program penghijauan di seluruh wilayah bahkan dengan memanfaatkan lahan-lahan kosong.
 

Teknologi

Seiring dengan upaya menurunkan gas karbon di DKI Jakarta, berbagai inovasi juga terus dilakukan melalui kolaborasi dengan produsen bahan bakar fosil untuk menekan polusi udara.

Hampir seluruh pemangku kepentingan di bidang migas terus mengembangkan apa yang disebut penangkapan dan penyimpanan karbon atau dikenal dengan sebutan carbon capture and storage (CCS).

Dengan cara ini sisa pembakaran berupa gas karbondioksida (CO2) yang selama menjadi penyumbang efek gas rumah kaca ditangkap dan disimpan untuk kemudian dibenamkan kembali yang dalam jangka panjang untuk bisa menjadi bahan bakar fosil.

Meski demikian dalam penerapan di lapangan, sistem CCS tidak sesederhana seperti yang digambarkan, setidaknya masih membutuhkan proses panjang dan kompleks.

Hal ini juga disampaikan oleh pendiri dan CEO dari Energy Academy Indonesia (Ecadin) Desti Alkano yang menyebut teknologi CCS membutuhkan rantai nilai yang kompleks dan pada kenyataannya bukanlah komoditas yang dapat dijual dengan mudah di pasar, seperti batu bara, minyak, maupun gas.

Meski demikian, Desti mengatakan inovasi tersebut untuk ke depan bisa diterapkan, yang untuk implementasinya membutuhkan kebijakan dan komitmen kuat dari Pemerintah agar CCS ini bisa berkembang dan berkelanjutan.

Dalam berbagai pertemuan CCS sudah menemukan solusi terkait teknologi, keekonomian, dan kebijakan terkait CCS, baik di tingkat global maupun regional.

Terkait hal itu Pemerintah sampai saat ini terus berkomitmen dalam mewujudkan CCS, yang pada intinya, apa pun program untuk pengurangan emisi karbon akan mendapatkan dukungan serta kemudahan dalam berinvestasi.

Langkah-langkah untuk mengurangi emisi karbon di seluruh sektor dan memanfaatkan tempat penyimpanan karbon strategis di Indonesia didorong oleh perkembangan kebijakan yang terus disempurnakan dan kolaborasi internasional untuk mendukung implementasi CCS.

Indonesia mempunyai potensi besar dalam ekosistem CCS global dan memiliki ambisi menjadi pusat CCS regional. Karena itu, pengembangan teknologi dan pembentukan ekosistem CCS sangat penting bagi Indonesia agar dari sisi ekonomi bisa menjadi lebih menarik.

Hingga saat ini berbagai upaya terus dilakukan dalam mendukung penelitian, pengembangan teknologi, dan persiapan sumber daya manusia untuk mempercepat implementasi CCS di Indonesia, dengan tujuan mencapai emisi nol.
 

Sejak lama

Soal pengurangan emisi gas rumah kaca sendiri untuk ukuran DKI sistem CCS bisa menjadi tantangan ke depan untuk agar bisa terealisasi, mengingat kajian soal emisi gas rumah kaca ini sudah disusun sejak lama serta berisikan sejumlah rekomendasi.

Namun, yang pasti sektor transportasi masih menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca di DKI Jakarta.

Kajian yang disusun sejak tahun 2010 hingga 2018 memperlihatkan sektor transportasi masih menjadi kontributor terbesar emisi karbon.

Dengan jumlah penduduk yang padat serta penggunaan kendaraan pribadi untuk melakukan berbagai aktivitas ekonomi, sudah barang tentu menjadi problem dalam mengatasi pencemaran udara.

Konversi kendaraan berbahan bakar fosil menjadi berpenggerak baterai menjadi salah satu solusi menekan emisi karbon di DKI Jakarta. ANTARA/HO-PLN Disjaya
Transportasi berbasis publik versus kendaraan pribadi masih menjadi pekerjaan rumah yang harus dihadapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ke depan apabila menginginkan status aman terhadap polusi udara.

Kebijakan menjadi bagian yang paling penting untuk memastikan emisi karbon ini dapat ditekan di Jakarta.

Pengadaan bus pengumpan (feeder) hingga menjangkau permukiman warga menjadi cara paling ampuh untuk mengajak warga Jakarta beralih menggunakan transportasi publik.

Tak hanya itu perbaikan sarana dan prasarana transportasi publik menjadi lebih aman dan nyaman menjadi salah satu catatan bagi warga Jakarta untuk bisa berubah.

Dengan demikian meski teknologi “daur ulang” gas karbon itu masih lama  namun dengan hadirnya kebijakan di bidang transportasi publik, tentu dapat membantu mengurangi efek gas rumah kaca.

Penataan kota dengan jaringan jalan pendukung untuk menghindari Jakarta dari kemacetan juga menjadi syarat penting untuk membuat udara menjadi lebih bersih.

Di samping tentunya pengadaan taman-taman dan hutan kota yang memiliki fungsi membersihkan udara Jakarta dari polusi yang disumbang oleh kendaraan bermotor dan industri.

Tingginya angka penyakit ISPA (infeksi saluran pernafasan akut), yang menjadi identik dengan udara kotor, mencapai 100 ribu kasus per bulan menjadi catatan tersendiri agar program untuk meminimalkan emisi karbon memang sudah mendesak di Jakarta.

Apakah dengan hadirnya Ibu Kota Nusantara akan membuat DKI Jakarta terbebas dari emisi? Belum tentu. Bahkan apabila penataan ruang tidak terkendali, dalam artian penyebaran pembangunan ke segala arah yang terjadi, emisi berpotensi makin tinggi.

Oleh karena itu kebijakan Pemprov DKI Jakarta saat ini mengendalikan emisi bahan bakar fosil menjadi keniscayaan dan harus pula berkelanjutan.



 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024