Jakarta (ANTARA) - Sebuah penelitian menemukan hubungan menarik antara pola makan pendonor sebelum donor darah dan reaksi alergi transfusi (ATR) pada penerima, khususnya di kalangan anak-anak.

Ditulis laman Medical Daily, Kamis (14/3) waktu setempat    , hingga 2 persen transfusi dapat menyebabkan reaksi alergi transfusi (ATR) yang berpotensi mengancam jiwa menurut penelitian di jurnal Allergy.

Reaksi-reaksi yang merupakan respon hipersensitivitas terhadap produk darah, terutama trombosit dan plasma, memiliki mekanisme pasti yang belum diketahui.

Baca juga: Benarkah mendonorkan darah punya manfaat untuk jantung? 

Baca juga: PMI: Jaga kesehatan untuk bisa lakukan donor darah di bulan Ramadhan


"Dalam penelitian kami sebelumnya, kami menemukan bahwa pasien anak-anak dengan alergi makanan secara karakteristik lebih rentan terhadap ATR.
Mengingat alergi makanan juga lebih umum terjadi pada anak-anak, kami memutuskan untuk menyelidiki apakah makanan yang dimakan donor sebelum mendonorkan darah dapat dikaitkan dengan penyakit tersebut,” kata Dr. Ryu Yanagisawa dari Rumah Sakit Universitas Shinshu, Jepang, yang memimpin penelitian tersebut.

Selama penelitian yang dilakukan antara Mei 2022 dan Desember 2023, para peneliti mengumpulkan sampel darah dari lebih dari 100 anak yang diketahui alergi terhadap telur, gandum, atau susu. Mereka juga mengambil darah dari dua donor sehat sebelum dan sesudah makan makanan ini dalam jumlah besar dan mengekstrak serumnya.

Setelah mengumpulkan darah dari setiap pasien alergi, para peneliti melakukan tes aktivasi basofil (BAT) untuk mengevaluasi aktivasi basofil, sejenis sel darah putih yang terlibat dalam reaksi alergi. Ini dilakukan dengan memaparkan sampel ke serum yang sesuai.

Hasil BATs menunjukkan bahwa pada pasien yang alergi telur, kadar basofilnya meningkat ketika darahnya terkena serum dari donor yang telah mengonsumsi telur.

Para peneliti kemudian menyimpulkan bahwa jika pasien memiliki alergi makanan, alergen dalam makanan yang dikonsumsi donor sebelum donor darah dapat berkontribusi pada perkembangan ATR.

Meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi hasil dengan lebih pasti, para peneliti berharap penelitian mereka saat ini akan menjadi langkah penting pertama dalam memahami mekanisme yang mendasari ATR.

“Di masa depan, kita bisa memprediksi terlebih dahulu siapa yang mungkin menderita ATR. Dengan waktu yang cukup, langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan ATR dapat dikembangkan, sehingga mengarah pada transfusi darah yang lebih aman,” kata Dr. Yanagisawa.

Baca juga: Dokter: Donor plasma darah bantu penanganan gangguan pembekuan darah

Baca juga: Ahli: "Viral Load" bantu dokter identifikasi kasus resistensi obat

Baca juga: Dokter RSUP: Donor darah cegah risiko penyakit jantung dan stroke

Penerjemah: Fitra Ashari
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2024