Jakarta (ANTARA) - Ramadhan di kampus menjadi salah satu program yang selalu semarak saat bulan suci bagi umat Islam ini tiba. Menjelang azan magrib hingga waktu tarawih, masjid-masjid kampus di Indonesia biasanya dipenuhi mahasiswa untuk berbagai kegiatan keagamaan.

Takjil pun tersedia beragam di sana. Lantas, bagaimana suasana Ramadhan di Australia, negara dengan mayoritas penduduk non-muslim?

Perth, salah satu kota kecil di Australia Barat, dikenal dengan kehidupan yang sarat dengan keragaman budayanya. Kota ini menjadi rumah bagi banyak mahasiswa internasional, termasuk dari Indonesia, untuk setidaknya dua sampai lima tahun, selama masa studi.

Komunitas Indonesia di Perth sangat beragam, termasuk diantaranya komunitas Islam yang aktif memperkaya kehidupan spiritual dan pengetahuan keislaman.

Berbeda dengan masjid-masjid kampus di Indonesia yang besar dan megah, University of Western Australia (UWA), tempat penulis menimba ilmu dari tahun 2017 hingga 2022, menyediakan Prayer Room (musholla). Meskipun tidak sebesar di kampus Indonesia, tempat ini menjadi ruang yang sangat berharga bagi komunitas Islam di UWA.

Prayer Room dilengkapi dengan fasilitas tempat wudhu, pantries (dapur kecil) dan kulkas. Prayer Room menjadi pusat kegiatan keagamaan dan kebersamaan kami dan dikelola oleh UWAMSA (University of Western Australia Muslim Student Association).

Ramadhan di Perth

Ketika Ramadhan tiba, tidak ada suara azan yang menggema di mana-mana, atau mendapati beragam takjil yang di jual di pasar layaknya di Tanah Air. Juga tidak ada suara imsak dan azan subuh. Namun, mahasiswa muslim di kampus beruntung diizinkan menggunakan Hacket Café yang cukup luas untuk aktivitas berkumpul, berbuka puasa dan melaksanakan salat tarawih.

Laki laki di bagian depan, perempuan di sisi belakang. Setiap hari, selama bulan Ramadhan, lebih dari 100 orang datang ke kafe yang berada di seberang Prayer Room.

Saat azan magrib berkumandang di Hacket Café, para pengunjung berbuka dengan kurma dan minuman yang tersedia, kemudian melaksanakan shalat magrib berjamaah. Setelah itu, barisan panjang sajian buka puasa terbentang, dan semua orang menikmati makanan sambil bertukar kabar dan sesekali bergurau. Uniknya, teman-teman non-muslim, termasuk mahasiswa asal Indonesia, secara sukarela membantu proses penyajian makanan untuk buka bareng ini.

Setiap komunitas Islam dari negara yang berbeda mendapat kesempatan untuk menyuguhkan hidangan khas negaranya. Menu masakan dari Indonesia sangat digemari, terutama rendang, gulai nangka yang disuguhkan dengan kupat, bakso, tahu isi dan bakwan.

"Indonesian foods are so yummy," kata seorang teman dari Turki waktu itu.

Mahasiswa Indonesia pun sangat menikmati makanan-makanan Timur Tengah yang disuguhkan pada saat buka puasa.

Sembari menunggu azan isya, tempat makan tersebut dibersihkan. Beberapa orang memanfaatkan waktu dengan membaca Al-Qur'an. Sementara anak-anak asyik bermain dengan teman sebaya mereka.

Di tengah kerinduan terhadap suasana Ramadhan dan keluarga di Tanah Air, pertemuan dengan teman-teman Indonesia dan muslim dari berbagai negara menjadi semacam pengobat rindu. Senyuman tulus dan sapaan hangat mereka sungguh memberi kedamaian di hati. Suasana paguyuban terbangun secara alami. Ukhuwah Islam itu ternyata merupakan keniscayaan universal.

Namun, suasana indah itu sempat terjeda saat merebaknya pandemi COVID-19 pada tahun 2020. Ini menjadi semacam ujian, betapa atmosfer Ramadhan begitu mahalnya. Dengan pembatasan sosial yang ketat, kegiatan berkumpul menjadi sangat terbatas. Tidak disangka, UWAMSA memberikan inisiatif yang luar biasa. Mereka mengantarkan takjil dan makanan dari pintu ke pintu apartemen, untuk memastikan bahwa mahasiswa muslim di kampus tersebut tetap merasakan kebersamaan dan keindahan Ramadhan.

Mengenalkan Islam

Selain menjadi bulan yang penuh rahmat, Ramadhan di UWA juga menjadi kesempatan emas untuk memperkenalkan dan merayakan keindahan Islam kepada masyarakat luas, terutama kepada teman-teman non-muslim. Banyak dari mereka yang belum tahu tentang ibadah puasa di bulan Ramadhan, sehingga pertanyaan seperti, "What kind of Religion is your Religion?" saat mengetahui tentang puasa selama sebulan menjadi momen edukatif yang berharga.

Acara Iftar Open Air menjadi kegiatan tahunan, di mana setiap orang, apapun agamanya, boleh datang ke Riley Oval, tempat lapang di kampus, untuk mengikuti diskusi keislaman dan buka bersama (Iftar). Penataan acara yang apik dengan dominasi warna putih dan lampu-lampu kecil menciptakan suasana yang hangat dan menyambut, mempererat persahabatan antara mahasiswa Muslim dan non-muslim. Kebersamaan ini tidak hanya pada momen berbuka puasa, tetapi juga kesempatan bagi teman-teman non-muslim untuk menyaksikan langsung shalat magrib berjamaah.

UWAMSA juga mengadakan Community Iftar, sebuah acara yang mengajak teman-teman dari berbagai agama berbeda (friends of other faith) untuk merasakan langsung pengalaman berpuasa, diakhiri dengan berbuka puasa bersama dengan sajian lezat dari berbagai negara Islam.

Mereka yang datang akan membeli tiket dan biasanya acara diselenggarakan di Wintrop Hall UWA yang cukup megah, atau di hotel berbintang seperti Hyatt Regency Perth.

Mereka yang hadir berkesempatan mendengarkan paparan inspiratif dari tokoh Islam terkemuka. Selain itu, ada pula stan pengumpulan donasi untuk membantu warga Palestina di Gaza, dan umat Islam di belahan dunia lain yang membutuhkan bantuan.

Melalui dua kesempatan menjadi volunteer fotografer di Community Iftar UWAMSA, penulis menyaksikan antusiasme luar biasa dari ratusan muslim dan non-muslim yang datang dengan pakaian terbaik mereka.

Di Australia, menghormati persetujuan untuk difoto merupakan hal yang sangat penting. Sebagai fotografer, penulis selalu meminta izin terlebih dahulu, terutama untuk foto close-up atau grup kecil. Rasanya sangat senang dapat berkontribusi dan memberikan kenangan indah pada momen kebersamaan keluarga dan teman-teman tersebut, serta kegembiraan semua orang saat berbuka puasa.

Selama empat tahun merayakan Ramadan di Perth, jauh dari Tanah Air, penulis menyaksikan keindahan dan keragaman Islam yang mempersatukan masyarakat dari berbagai negara dan latar belakang, termasuk teman-teman non-Muslim.

Rangkaian acara dan kegiatan yang dilaksanakan bukan hanya menggali lebih dalam makna Islam bagi muslim, tetapi juga menunjukkan kehangatan dan "Islam rahmatan lil alamin" kepada teman-teman dari berbagai agama dan kepercayaan. Allahu al jamil wayuhibbul jamal.

*) Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Alumni University of Western Australia

Copyright © ANTARA 2024