Sudah diganti semuanya, saat itu juga langsung diganti,"
Jakarta (ANTARA News) - Bersih-bersih ala Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo bersama dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama kepada pegawai negeri sipil (PNS) yang terendus atau tertangkap tangan suka nilep duit rakyat mencetuskan logika bahwa yang bisa diadili atau dinilai atau dianalisis bukanlah kata-kata melainkan fakta.

Ya fakta, bukan rentetan kata-kata. Dan logika Jokowi dan Basuki bersandar dan bersumber kepada ungkapan Latin klasik bahwa "facta non verba" (karya nyata bukan hanya kata-kata semata).

Mereka yang kaya berkata-kata, namun miskin bertindak, kata lugasnya berbohong. Apakah logika Jokowi dan Basuki berjalan di atas rel "yang benar" dan "yang baik"?

Ketika bocah diajar di rumah oleh kedua orangtuanya, dididik di sekolah oleh bapak atau ibu guru, maka disebut berulangkali, bahwa perilaku yang benar dan tindakan yang baik bila bersesuaian dengan batin, pikiran, dan hati.

Gerakan sapu bersih terhadap PNS Pemerintah Prov DKI Jakarta yang tersangkut gurita kasus dugaan penyalahgunaan anggaran merujuk kepada logika Jokowi dan Basuki bahwa kebenaran dan kebaikan suatu tindakan bergantung kepada konsekuensi-konsekuensinya.

Jika orangtua meminta anak-anaknya untuk cuci tangan sebelum makan, maka konsekuensinya, sang anak diharapkan tidak mengonsumsi bakteri.

Jika guru mendaulat murid-muridnya untuk selalu mengerjakan soal-soal pekerjaan rumah (PR), maka konsekuensinya, sang murid diharapkan tidak mengabaikan tugasnya sebagai murid sekolah.

Logika Jokowi dan Basuki nyata-nyata berjalan di atas rel "yang benar" dan "yang baik" karena ada konsekuensi dalam setiap pengambilan tindakan yang dapat dievaluasi terus menerus.

Mencuci tangan sebelum makan dan mengharuskan murid mengerjakan pekerjaan rumah (PR) merujuk kepada dua logika. Pertama, perbuatan itu baik jika memang menghasilkan lebih banyak dampak yang lebih baik dibanding tindakan alternatif lainnya.

Kedua, perbuatan itu benar jika menghasilkan lebih banyak kebahagiaan dibandingkan dengan tindakan alternatif lainnya.

Logika Jokowi dan Basuki yang tumbuh berkembang di atas tanah "yang benar" dan "yang baik" ujung-ujungnya membawa konsekuensi.

Jokowi tanpa basa-basi melibas enam PNS Pemerintah Prov DKI Jakarta yang terjerat kasus dugaan penyalahgunaan anggaran. "Sudah diganti semuanya, saat itu juga langsung diganti," kata Jokowi di Balaikota Jakarta, Kamis (24/10).

Perilaku blusukan untuk melancarkan operasi tertib (opstib) terhadap enam PNS yang suka nilep anggaran, merujuk kepada penegasan bahwa setiap pengambilan tindakan dari mereka yang bekerja di birokrasi wajib dievaluasi terus menerus. Hasilnya?

Pada 23 Oktober 2013, Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat menetapkan RB sebagai tersangka penyalahgunaan anggaran proyek pengadaan kamera pengawas dan sarana pendukungnya di Monumen Nasional senilai Rp 1,7 miliar.

Serta merta, hari yang sama, Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat mencokok Kepala Suku Dinas Komunikasi Informatika dan Kehumasan Jakarta Selatan berinisial YI pada kasus yang sama dengan RB.

Sebelumnya, pada 11 Oktober, Kejaksaan Negeri Jakarta Timur menetapkan Lurah Ceger berinisial FFL sebagai tersangka penyalewengan anggaran kasus pembuatan laporan pertanggungjawaban fiktif tahun 2012 senilai Rp 454 juta.

Hari yang sama pula, Kejaksaan Negeri Jakarta Timur menetapkan Bendahara Lurah Ceger ZA sebagai tersangka kasus yang sama. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, FFL dan ZA kontan diprodeokan.

Pada 13 September, Kejaksaan Negeri Jakarta Utara menetapkan MM sebagai tersangka penyalahgunaan anggaran proyek kelistrikan di Kepulauan Seribu tahun 2012 senilai Rp 1,3 miliar. Ironisnya, MM ditetapkan sebagai tersangka 12 hari setelah pensiun dari jabatannya per 1 September 2013.

Sebelumnya, MM menjabat Kepala Unit Pengelola Kelistrikan Kabupaten Kepuluan Seribu. Pada hari yang sama juga, Kejaksaan Negeri Jakarta Utara menetapkan SBR sebagai tersangka kasus yang serupa. SBR menjabat sebagai Kepala Seksi Perawatan UPT Kelistrikan Kabupaten Kepulauan Seribu.


Memberantas korupsi

Logika Jokowi dan Basuki memberantas korupsi merujuk kepada hal yang umum dipahami dan dimengerti, bahwa upaya untuk mengklaim (mendaku) bahwa sesuatu itu "baik", bahwa sesuatu itu "benar", hendaknya ditunjukkan dengan bukti dan argumentasi.

Logika Jokowi dan Basuki membasmi korupsi mengacu kepada klaim filosofis yang dilontarkan oleh pemikir Inggris, George Edward Moore.

Filosof asal negeri Ratu Elizabeth itu menegaskan bahwa tidak mungkin mengetahui bahwa sesuatu itu baik atau sesuatu itu benar, kecuali jika orang itu tahu mengenai apa yang baik dan apa yang benar.

Perilaku korupsi merupakan inflasi nilai dari mereka yang tidak tahu mengenai apa itu yang baik dan apa itu yang benar.

Untuk tahu warna hitam, orang perlu melakukan observasi; untuk tahu apakah sebuah tindakan itu korupsi atau tidak korupsi, maka orang perlu menelaah dengan akal budi.

Nah, perilaku korupsi lebih disebabkan oleh krisis akal budi seseorang atau sekelompok orang dalam birokrasi yang tidak menemukan dan mengalami sendiri tentang apa yang baik dan apa yang benar dan bagaimana cara menjadi orang yang baik dan menjadi orang yang benar.

Pernyataan Basuki Tjahaja Purnama benar-benar lugas. Ia merespons secara positif terhadap proses hukum dari pejabat-pejabat Pemprov DKI yang dijerat dalam kasus pengadaan kamera closed-circuit television (CCTV) di kawasan Monumen Nasional (Monas).

"Saya kira itu bagus, kita tidak bisa tutup-tutupi, kan, supaya orang tidak melakukan lagilah. Saya juga pusing tiap hari urusannya banyak," katanya.

Pernyataan Jokowi, "sudah diganti semuanya, saat itu juga langsung diganti...", dan pernyataan Basuki, "Saya kira itu bagus, kita tidak bisa tutup-tutupi, kan, supaya orang tidak melakukan lagilah...," merunut kepada batasan bahwa perilaku yang benar adalah perilaku yang menunjang segala yang baik.

Implikasinya, orang wajib bertindak dengan dilandasi oleh pertimbangan nilai, bukan dilandasi nikmat belaka. Menerima jabatan di kantor swasta atau di birokrasi hendaknya dilatarbelakangi oleh nilai, bukan mengejar nikmat semata.

Tokoh mitos Inggris, Robin Hood merampok harta orang kaya kemudian membagikan hasil jarahannya itu kepada orang miskin. Perilaku memberi harta kepada orang miskin bernilai baik, tetapi apakah perbuatan itu benar?

Logikanya, Robin Hood adalah perampok uang orang kaya. Robin Hood dicintai orang miskin semasanya.

Apakah orang yang mencintai orang miskin adalah orang yang merampok uang milik orang kaya demi membahagiakan mereka yang miskin?

Apakah membahagiakan orang miskin dengan merampok uang orang kaya adalah baik? Sebuah analisis filosofis menemukan makna jawaban bahwa setiap tindakan yang diambil hendaknya merupakan hasil penilaian yang dilandasi oleh pertimbangan akal budi lewat perilaku berbahasa.

Kalau Fulan mengatakan "Aku cinta padamu" kepada si Mimi, maka ia menggunakan bahasa untuk menyampaikan maksudnya.

Dengan mengatakan cinta kepada Mimi, maka Fulan membuka kemungkinan untuk mendapat cinta. Fulan berharap agar cinta Mimi tidak bertepuk sebelah tangan, begitu sebaliknya.

Baik Mimi maupun Fulan sama-sama bisa dan mampu menerima atau menolak relasi cinta antara kedua sejoli. itu, karena mereka punya akal budi.

Akal budi dapat disebut sebagai cahaya (lumen) yang menerangi setiap tindakan manusia. Akal budi diumpamakan oleh filsuf Bonaventura sebagai matahari bagi warna. Tanpa sinar matahari, maka tidak ada warna.

Nah, guyonannya, para koruptor boleh dibilang buta warna. Para koruptor kurang mendapat dan menerima cinta. Cinta membuka dan menyediakan kehendak untuk menyatakan jati dirinya.

Pertanyaan menyidik yang mujarab kepada para koruptor, "kapan kali terakhir anda mengatakan cinta kepada suami atau istri?"

Logika koruptor adalah logika yang melawan cinta. Logika Jokowi dan Basuki adalah logika yang mengandalkan tiga kata: mencintai, mencintai, mencintai.

Filosof Yunani kuno Aristoteles menulis "Amicus Plato, amicus Socrates, sed magis amica, amica veritas" (Plato sahabatku, Socrates temanku, tetapi kebenaranlah yang menjadi sahabatku yang paling karib).

Kebenaran di atas segala-galanya!

Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013