Jadi dengan menggabungkan anak disabilitas dengan nondisabilitas di kelas reguler atau pendidikan inklusi, itu jadi satu modal untuk bisa paham, saling memahami, saling mengerti satu sama lain
Jakarta (ANTARA) -
Komisi Nasional Disabilitas (KND) menilai program pendidikan inklusi pada tiap satuan pendidikan dasar maupun menengah dapat menjadi modal awal dalam menghapus stigma negatif mengenai disabilitas.
 
Ketua Komisioner Komisi Nasional Disabilitas Dante Rigmalia menerangkan apa yang dimaksud dengan pendidikan inklusi ialah untuk memberikan pembelajaran secara setara dan bersama-sama kepada semua peserta didik, termasuk yang berkebutuhan khusus.
 
"Jadi dengan menggabungkan anak disabilitas dengan nondisabilitas di kelas reguler atau pendidikan inklusi, itu jadi satu modal untuk bisa paham, saling memahami, saling mengerti satu sama lain sehingga nanti stigma itu perlahan jadi tidak ada," kata Dante di Jakarta, Jumat.
 
Sebab, lanjut dia, stigma negatif mengenai anak dengan disabilitas dalam lingkungan sekolah dasar maupun menengah kerap kali muncul karena tidak adanya pertukaran pengalaman atau informasi mengenai satu sama lain.
 
Oleh karena itu, pihaknya meyakini pendidikan inklusi menjadi langkah awal untuk mengenalkan keterbatasan serta potensi yang dimiliki oleh tiap anak kepada satu sama lain.
 
Ia menambahkan pentingnya melihat metode pendidikan inklusi sebagai filosofi dan bukan hanya sekadar program wajib dari pemerintah pusat.

Menurut Dante pendidikan inklusi bisa menjadi laboratorium bersama bagi siswa untuk mempelajari praktik-praktik baik terhadap peserta didik disabilitas.

"Misalnya ada yang disabilitas netra, terus saya mau makan bersama tidak bisa saya mengatakan ini ambil gitu, kan gak kelihatan. Atau ketika anak-anak melihat teman yang menggunakan kursi roda, tongkat tidak lagi dengan tatapan aneh," katanya.
 
Dengan mengusung filosofi pendidikan inklusi sejak satuan pendidikan dasar, ia meyakini anak-anak akan memiliki pemahaman mengenai keberagaman, termasuk keberagaman disabilitas secara holistik karena sejak awal belajar dan bermain bersama-sama.
 
"Mereka jadi sadar gitu. Oh ada saya yang seperti ini, ada teman saya yang seperti itu. Oke, ini adalah bagian dari kita. Ini adalah keberagaman. Jadi bukan dipisahkan," ujarnya.
   
 

Pewarta: Hana Dewi Kinarina Kaban
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024