Saat ini, kita sedang menunggu cost-nya turun dan memang sekarang sudah mulai menurun
Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Indonesia CCS Center Belladonna Troxylon Maulianda mengatakan ada beberapa faktor yang menjadikan Indonesia memiliki peluang besar mengembangkan proyek carbon capture storage (CCS) dan menjadikannya sebagai peluang bisnis yang baru di masa mendatang.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi penyimpanan karbon pada bekas reservoir di lapangan migas yang ada di Indonesia diperkirakan mencapai 577 giga ton.

Faktor pertama, menurut dia, terkait dengan regulasi.

Belladonna dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis menyebut Pemerintah Indonesia saat ini sangat agresif dalam menerbitkan berbagai regulasi untuk mendukung percepatan implementasi CCS, apalagi Indonesia memiliki potensi yang sama dengan Australia. Saat ini, Indonesia sudah memiliki 15 proyek CCS yang sedang dikembangkan.

"Hal tersebut membuat Indonesia memiliki peluang bisnis yang lebih besar dan dapat menjadi leader CCS hub di kawasan regional," kata dia saat menjadi pembicara pada diskusi dengan tema "CCS Sebagai Peluang Bisnis Baru di Indonesia" yang digelar oleh Indonesia Petroleum Association (IPA) di Jakarta, Rabu (27/3).

Belladonna menyampaikan teknologi CCS bukan hal yang baru bagi perusahaan minyak dan gas. Teknologi tersebut sudah diterapkan oleh para perusahaan migas sejak 40 tahun yang lalu.

"Teknologinya sudah mature sebenarnya. Saat ini, kita sedang menunggu cost-nya turun dan memang sekarang sudah mulai menurun," ujar Belladonna.

Selain itu, ia menilai Indonesia sebagai negara yang paling siap untuk mengimplementasikan CCS dibandingkan negara di kawasan Asia lainnya.

"Indonesia dinilai paling cepat dalam perkembangan CCS dibandingkan negara lain, selain memiliki potensi, dukungan dari pemerintah melalui regulasi juga diharapkan dapat mempercepat implementasi CCS," ujar dia.

Selain keunggulan dari sisi geografis dan regulasi, ia mengaku optimistis Indonesia akan menjadi pemimpin dalam bisnis CCS di kawasan regional. Pasalnya, Indonesia adalah negara pertama yang mengimplementasikan CCS cross border (lintas batas).

Sementara, Direktur Teknik dan Lingkungan Migas Kementerian ESDM Noor Arifin Muhammad mengatakan posisi Pemerintah Indonesia sudah sangat jelas dalam mendukung penerapan CCS untuk menghadirkan energi yang lebih bersih dan sekaligus mengurangi emisi karbon.

Hal itu ditunjukkan dengan insentif yang diberikan kepada para pelaku usaha yang bersedia menerapkan teknologi CCS.

"Pak Menteri ESDM (Arifin Tasrif) sudah menetapkan keputusan bahwa biaya CCS dapat masuk dalam cost recover," katanya.

Untuk diketahui, Kementerian ESDM baru saja menerbitkan angka Potensi Penyimpanan Karbon Nasional Tahun 2024 sebesar 572 miliar ton CO2 pada saline aquifer dan 4,85 miliar ton CO2 pada depleted oil and gas reservoir. Potensi penyimpanan yang sangat besar tersebut diyakini dapat mendukung secara signifikan target penurunan emisi dalam jangka panjang.

Lebih lanjut, Noor Arifin menyampaikan Kementerian ESDM juga tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Menteri ESDM terkait penyelenggaraan CCS pada wilayah izin penyimpanan karbon.

"Ditargetkan, Juli nanti sudah terbit permen-nya," ungkapnya.

Sedangkan, Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong menyambut baik sikap pemerintah yang sangat kooperatif mengajak pelaku usaha hulu migas untuk membahas pembangunan ekosistem CCS dan CCUS sejak lama.

"Kami ikuti stage dari progres pemerintah. Kita tahu sudah ada Perpres No 14/2024. Hal itu critical karena regulasi harus ada. Investor tetap akan melihat apakah ini peluang bisnis atau tidak. Memang ada pemain di sektor migas yang mengkhususkan bisnisnya menjadi CCS hub. Tetapi hal itu memang keharusan buat mereka karena kewajiban untuk mengurangi emisi. Sekarang bukan saja untuk keperluan sendiri, tetapi juga dapat menerima emisi dari luar migas. Jadi, ini bisa menjadi bisnis baru," katanya.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2024