Saat ini ada beberapa perbedaan yang terus mengemuka tetapi tidak akan mengarah kepada putusnya hubungan antara kedua negara."
Riyadh (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri AS John Kerry pada Minggu bertolak ke Arab Saudi dengan harapan meredakan ketegangan terkait batalnya intervensi AS terhadap Suriah dan perbaikan hubungan diplomatik dengan Iran.

Hubungan antara kedua negara sekutu tersebut mulai meregang sejak batalnya rencana AS untuk menyerang Suriah atau memasok pihak oposisi Suriah, yang diikuti dengan kontak diplomatik langsung pertama antara Presiden Iran Hassan Rouhani dengan Presiden AS Barack Obama, lapor AFP.

Arab Saudi juga berang atas keputusan Washington yang membekukan sebagian bantuan rutin mereka terhadap pemerintah sementara Mesir, meskipun Kerry kemudian menegaskan kembali komitmen AS terhadap pemerintah bentukan rezim militer Mesir dalam kunjungan singkatnya.

Negara konservatif itu mulai khawatir seiring revolusi Arab Spring yang terjadi di Timur Tengah sejak dua tahun lalu. Rezim di Mesir, Tunisia dan Yaman yang digulingkan sebelumnya merupakan sahabat negara monarki yang kaya minyak tersebut.

Puncaknya pada bulan lalu, Saudi dengan tegas menolak hasil pemungutan suara di Dewan Keamanan PBB yang menetapkan mereka sebagai salah satu anggota tidak tetap di badan PBB yang mengurusi keamanan dunia itu.

Aksi tersebut merupakan bentuk protes Arab Saudi atas kegagalan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk mengakhiri konflik di Suriah yang telah merengut lebih dari 120.000 jiwa.

Pekan lalu, Kepala Intelijen Arab Saudi, Pangeran Bandar bin Sultan Al-Saud, dilaporkan mengatakan kepada para diplomat di Riyadh bahwa dia akan menarik kerja sama Saudi dengan CIA dalam hal pelatihan pemberontak Surian dan bekerja sama dengan negara sekutu mereka seperti Yordania dan Prancis.

"Ya, kami tidak sepaham dengan Amerika," tulis editorial harian Al-Riyadh yang dekat dengan pemerintah, Minggu.

"Saat ini ada beberapa perbedaan yang terus mengemuka tetapi tidak akan mengarah kepada putusnya hubungan antara kedua negara," tulis harian itu.

Arab Saudi merupakan salah satu pendukung utama pemberontak yang ingin menggulingkan rezim Presiden Suriah Bashar Al-Assad. Mereka berang dengan keputusan Washington yang tidak jadi menyerang Suriah karena tercapainya kesepakatan dengan Rusia terkait pemusnahan senjata kimia Suriah.

Arab Saudi juga tidak terlalu sepakat dengan pembicaraan damai Suriah yang diinisiasi AS dan Rusia di Jenewa bulan depan. Hal itu ditunjukan dengan penolakan kunjungan utusan Liga Arab-PBB, Lakhdar Brahimi, kata seorang sumber kepada AFP.

"Ada sedikit ketidaksepahaman terhadap sikap AS... dan pesan tersebut telah sampai," kata analis Saudi, Abdel Aziz al-Sagr, yang mengepalai Pusat Riset Teluk.

Arab Saudi yang mayoritas Sunni juga telah lama berseteru dengan Iran dan khawatir jika kesepakatan damai di Suriah akan memungkinkan Bashar tetap berkuasa atau terobosan baru dalam pembicaraan sengket program nuklir Iran.

Seorang pejabat senior Kemenlu AS mengatakan kunjungan Kerry ke Arab Saudi merupakan salah satu kesempatan untuk membicarakan berbagai isu yang menumpuk dengan negara itu.

Pejabat itu mengatakan AS telah berdialog dengan Arab Saudi terkait "cara terbaik" dalam menjamin dukungan terhadap koalisi oposisi Suriah dan sayap militer koalisi Suriah guna menjamin kepercayaan diri mereka untuk hadir di Jenewa.

Seorang diplomat Eropa di Teluk mengatakan Arab Saudi tengah berupaya bersama Prancis untuk mempersenjatai pemberontak moderat di Suriah itu dengan harapan mereka dapat membuat banyak kemajuan menjelang pembicaraan damai.

Arab Saudi juga keberatan dengan potensi kehadiran Iran dalam konferensi di Jenewa.

Negosiasi nuklir babak baru antara Iran dan kelompok negara yang disebut P5+1 akan berlangsung pada 7-8 November dan sejumlah pejabat senior AS diperkirakan akan menekan Senat untuk menahan berbagai usulan sanksi baru terhadap negara tersebut.

"Pembicaraan P5+1 akan mengarah kepada penegasan bahwa Iran tidak dapat memiliki senjata nuklir, hal yang kami sepakati dengan Arab Saudi," kata pejabat Kemenlu AS yang tidak disebutkan namanya itu.

"Hal itu hanya sebuah pertanyaan tentang apakah mereka mengerti posisi kami dengan jelas," katanya.


Penerjemah: Panji Pratama

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013