Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Pusat Advokasi Studi Konstitusi dan Demokrasi (PASKODE), Harmoko, menilai permintaan Tim Hukum TPN Ganjar-Mahfud agar Mahkamah Konstitusi (MK) menghadirkan Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo sebagai saksi di sidang sengketa Pilpres tidaklah relevan.
 
“Dalam Undang-Undang (UU) Pemilu juncto UU Polri disebutkan bahwa Polri itu bersikap netral, sehingga jika Kapolri dihadirkan sebagai saksi, maka sama halnya dengan mendorong Polri untuk tidak bersikap netral,” kata Harmoko dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.
 
Usulan tersebut, lanjut dia, dikhawatirkan juga akan membentuk opini bahwa Polri tidak netral dan keberpihakan kepada salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.
 
“Selain itu, menimbulkan persepsi negatif dan asumsi-asumsi meluas di kalangan masyarakat terhadap institusi Polri yang saat ini tingkat kepercayaan masyarakat cukup tinggi dalam mewujudkan pengabdian bagi bangsa dan negara, termasuk mewujudkan Pemilu yang aman dan damai,” ujarnya.
 
Harmoko juga menilai MK tidak boleh meminta keterangan Kapolri demi menjaga asas netralitas Polri dalam Pemilu.
 
Ia berharap sidang PHPU Pilpres di MK berjalan sesuai dengan kewenangan lembaga peradilan tersebut secara konstitusional dan berlandaskan kode etik dan kode perilaku Hakim Konstitusi.
 
“Kita berharap tidak ada laporan terhadap Hakim Konstitusi ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) karena dugaan pelanggaran kode etik hakim MK. Oleh karena itu, kami minta asas legalitas dan standar etik dalam sidang PHPU dijunjung tinggi” pungkasnya.
 
Diketahui, Deputi Hukum TPN Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis, menyampaikan usulan kepada Majelis Hakim MK agar menghadirkan Kapolri dalam sidang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres untuk memberikan keterangan.
 
Alasan pengajuan nama Kapolri karena menurut pihaknya, terdapat banyak dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak kepolisian.
 
"Ada cukup banyak hal-hal yang menyangkut kepolisian, di antaranya pihak polisi yang melakukan intimidasi, kriminalisasi, dan yang terlibat dengan ketidaknetralan dalam kampanye," tutur dia.
 
Melalui pemanggilan tersebut, Tim Hukum TPN berharap mendapatkan penjelasan yang akuntabel mengenai kebijakan-kebijakan dan perintah-perintah yang dikeluarkan oleh kepolisian.
 
"Tidak cukup hanya melihat soal bansos, tapi kita juga melihat aspek-aspek pelanggaran yang dilakukan oleh pihak kepolisian yang mencederai demokrasi dan integritas pemilihan umum," ujarnya.

Pewarta: Nadia Putri Rahmani
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2024