Mekanisme `presidential threshold` itu anomali, jarang bisa ditemukan di negara-negara lain. Yang umum mereka hanya menetapkan ambang batas keterpilihan calon."
Jakarta (ANTARA News) - Indonesia belum memiliki pola seleksi kepemimpinan politik yang jelas termasuk penggunaan mekanisme ambang batas syarat pengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, kata peneliti senior Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI Syamsuddin Haris.

"Indonesia masih belum memiliki pola seleksi kepemimpinan politik yang jelas, padahal untuk urusan kepemimpinan di masyarakat sudah jelas, seperti yang ada di dalam organisasi kemasyarakatan semacam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama," kata Syamsuddin di FISIP Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Senin.

Menurut Syamsuddin, hal tersebut merupakan akibat dari inkonsistensi dalam melembagakan sistem presidensial.

"Mekanisme presidential threshold itu anomali, jarang bisa ditemukan di negara-negara lain. Yang umum mereka hanya menetapkan ambang batas keterpilihan calon," ujarnya.

Terlebih lagi, Syamsuddin meyakini bahwa penerapan ambang batas tidak lazim diterapkan dalam sistem presidensial.

"Sebab institusi presidensil dan parlementer itu dua hal yang terpisah, tidak bisa saling menjatuhkan, dengan basis legitimasi yang berbeda masing-masing," katanya mengacu pada perolehan suara pemilu legislatif sebagai prasyarat pengajuan calon presiden.

Syamsuddin mengatakan perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap sistem pemilu di Indonesia, terutama untuk mengarahkan agar penyelenggaraan pemilu presiden dan pemilu legislatif dapat dilakukan serentak.

Hal tersebut, lanjut Syamsuddin, untuk mendorong agar koalisi partai-partai politik peserta pemilu lebih bersifat berkelanjutan.

"Kalau serentak untuk mencegah agar koalisi tidak berbentuk oportunistik," ujarnya.

Ia juga menyarankan agar dilakukan sebuah mekanisme uji publik supaya dimasukkan ke dalam peraturan pemilu presiden.

"Baik itu dalam bentuk konvensi internal partai ataupun sejenisnya, untuk mencegah penunjukan calon presiden secara oligarkis oleh Dewan Pimpinan Pusat partai saja," katanya.

Selain itu, pemilihan serentak juga perlu dipisahkan secara berjangka 2,5 tahun antara tingkat nasional (DPR dan presiden) dengan tingkat lokal (DPRD dan kepala daerah).

Ia meyakini skema semacam itu dapat meminimalisasikan praktik politik transaksional di tingkat lokal.  (G006/A011)

Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013