Jakarta (ANTARA News) - Berpolitik profetik dalam pengertian yang paling lugas, yang berjalan di koridor pertimbangan etis, pantas digaungkan kembali, setidaknya bisa menjadi salah satu rujukan mereka yang hendak bersaing dalam Pemilu 2014.

Jangan apriori dulu dengan mengatakan bahwa yang normatif akan selalu kandas di kancah pergulatan politik yang sering kali mengabaikan pertimbangan etis.

Ada yang bilang bahwa Pemilu 2014 akan menjadi tonggak bagi sebagian besar pemilih pemula yang bosan dengan muka-muka lama.

Anak-anak muda ini mencintai keterusterangan, yang lugas-lugas, cenderung pragmatis tapi tetap menyukai gagasan ideologis cinta kasih.

Ditunjang zaman yang kian terang-benderang oleh peranti teknologi informasi, para politisi jangan bermain-main dengan integritas, manuver yang membodohi dan segala macam trik-trik yang mengecoh.

Arah akan datangnya tokoh-tokoh baru yang siap menelanjangi diri agar tak ada yang ditutup-tutupi, seperti membuka rekening atau deposito pribadi mereka ke khalayak publik, sudah mulai ditempuh sejumlah figur.

Maka kini tak ayal lagi, era politik profetik, yang mengagungkan keutamaan nilai-nilai hidup akan mewarnai Pemilu 2014. Kampanye hitam yang menjelek-jelekan lawan politik akan ditinggalkan.

Ada ayat dalam Al Quran yang kurang diminati kalangan Muslim garis keras dan fundamentalis, yang berbunyi: "Jangan menilai buruk atau sesat orang lain sebab jangan-jangan orang yang kau anggap buruk itu malah lebih baik dari dirimu."

Ayat itu seolah mengukuhkan kembali apa yang tertuang dalam Alkitab: "Dosa serius adalah menganggap orang lain lebih rendah, salah dan sesat."

Ungkapan-ungkapan di atas sering jadi patokan dalam ulasan tentang etika atau filsafat moral dan sangat dianjurkan untuk dilakukan mereka yang bergelut dalam kancah kehidupan publik.

Menahan diri dari nafsu menganggap rendah dan sesat orang lain akan menjadikan seseorang atau politisi untuk menghindari bumerang politik.

Dalam dunia periklanan juga ada patokan: mempromosikan diri itu sah-sah saja, tapi menjelek-jelekkan pesaing adalah pertanda kementahan jiwa.

Sejumlah kontestan Pemilu 2014 sudah mulai menyadari juga bahwa dana politik adalah bagian paling rawan dalam merebut kekuasaan.

Yang tak pernah sepi dari pergunjingan publik, setiap calon kontestan senantiasa dicurigai akan disokong dana dari konglomerat hitam. Namanya juga pergunjingan. Bisa betul bisa salah.

Untuk menghindari jebakan-jebakan menggelincirkan itu, ada calon kontestan yang hendak merintis jalan baru pendanaan politik.

Ini jalan relatif baru untuk kultur politik dalam negeri, meski untuk negara maju hal ini sudah bukan baru lagi.

Apa jalan baru itu? Penggalangan dana dari masyarakat.

Sebetulnya jalan ini pernah dilakukan oleh mereka yang bersimpati pada Faisal Basri saat dia berlaga dalam pemilihan Gubernur DKI beberapa waktu lalu.

Hasilnya memang belum optimal. Faisal kalah. Tapi dia kalah dengan kepala tetap tegak. Tak mencederai politik dan kiprah pribadinya.

Penggalangan dana publik untuk kampanye politik akan membebaskan sang politikus dari beban hutang budi. Ini akan penting bagi implementasi pemerintahan ketika sang politisi memenangi pemilu.

Ujung-ujungnya kesejahteraan rakyat yang akan jadi fokus, bukan ikhtiar memberikan konsesi politik atau membayar utang politik pada mereka yang menyumbang dana saat kampanye.

Ada satu poin penting yang perlu dipertimbangkan dalam menghidupkan politik profetik. Publik, pemilih, harus konsekwen dan tidak menuntut terlalu banyak dari calon kontestan yang mengandalkan dukungan dana dari publik.

Publik yang cerdas diminta memaklumi kontestan yang dana kampanyenya cekak alias minim. Maklumilah jika kontestan ini tak sanggup beriklan berulang kali di televisi atau memasang iklan besar-besaran di halaman koran-koran terkemuka.

Mereka yang bertubi-tubi memperlihatkan kedigdayaan finansialnya dalam beriklan politik justru perlu diwaspadai.

Harus dibaca secara kritis: dari mana dana besar itu mereka peroleh? Kalau toh itu dana dari kantong pribadi karena sang kontestan itu punya aset luar biasa dan usaha yang menggurita, ini pun perlu diselidik secara etis: mau apa orang ini kok rela habis-habisan dana?

Pertimbangan etis dari pihak pemilih juga penting dilakukan. Pemilih perlu mengingat ayat-ayat profetik, yang kurang lebih berbunyi begini: kalau ada orang yang kelihatan sekali berambisi ingin jadi pemimpin, waspadailah.

Pemilih juga perlu cerdas dalam trik politik. Artinya, seorang kontestan pun bisa bersiasat.

Setelah dia tahu bahwa publik akan memalingkan diri dari tokoh kontestan yang kelihatan berambisi merebut kursi kekuasaan, kontestan inipun merancang strategi : dia dicitrakan tidak berambisi dan membuat skenario bahwa pengikutnyalah yang meminta dia ikut dalam kompetisi Pemilu 2014.

Memang tak ada yang sederhana dalam dunia politik. Itu sebabnya, pencerdasan publik akan menjadi agenda bangsa yang tak berkesudahan. Itu pula yang menjadikan wacana berpolitik profetik selalu relevan digaungkan kapanpun, di mana pun.

Oleh M. Sunyoto
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2013