Jakarta, 22/11 (ANTARA) - Ditetapkannya UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, memberi kewenangan Pemerintah untuk menetapkan aturan penyusunan Rencana Zonasi.  Untuk itu, setiap Pemerintah Daerah wajib menyusun Rencana Zonasi serta menetapkannya dengan Peraturan Daerah (Perda). Demikian ditegaskan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Sudirman Saad, mewakili Menteri Kelautan dan Perikanan, pada pembukaan Workshop Nasional Akselerasi Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, di Jakarta, Kamis (21/11).

Sudirman menjelaskan, Rencana Zonasi merupakan instrumen penataan ruang yang menjadi dasar dalam pemberian ijin pemanfaatan ruang di perairan pesisir.  Rencana Zonasi menjadi alat kontrol untuk keseimbangan pemanfaatan, perlindungan pelestarian, dan kesejahteraan masyarakat sekaligus berfungsi memberikan kepastian dan perlindungan hukum dalam pemanfaatan perairan pesisir.  Rencana zonasi memungkinkan untuk menata perairan wilayah pesisir agar tidak terjadi konflik dalam penggunaannya, di mana semua ruang dialokasikan pemanfaatannya secara transparan dan ilmiah sesuai dengan kelayakan dan kompatibilitas. Rencana Zonasi juga memastikan adanya perlindungan, pelestarian, pemanfaatan, perbaikan, dan pengkayaan sumber daya pesisir beserta ekosistemnya secara berkelanjutan. “Rencana Zonasi juga mengakomodasikan kepentingan perlindungan wilayah masyarakat hukum adat di perairan pesisir yang sudah ada dan berlaku secara turun temurun,” jelasnya.

Dijelaskan, UU No.27/2007 tentang PWP3K ditetapkan berurutan setelah UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang. Kedua UU tersebut menarik perhatian karena substansinya bermaksud mengatur ruang yang di dalamnya berisikan kepentingan publik dan lintas sektor. UU No.27/2007 mempunyai keterkaitan dan sekaligus lex spesialis UU No.26/2007, yaitu melaksanakan amanat pengelolaan ruang laut di wilayah pesisir. Bagi Pemda  dengan penyelenggaraan pengelolaan ruang wilayah pesisir, penyelarasan sangat penting guna menghindari terjadi ‘multi tafsir’ dalam pelaksanaannya.   “Ruang lingkup wilayah pesisir yang ditentukan UU No.27/2007 meliputi  daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut.  Ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai,” katanya.

 

Aspek Ekonomi Sosial

Penetapan Zonasi, kata Sudirman, mempunyai dampak positif, baik ekonomi, sosial, maupun lingkungan. China bisa menjadi contoh keberhasilan dalam menata wilayah pesisir. Negeri tirai bambu ini telah menyelesaikan seluruh tata ruang laut (Marine Functional Zoning) baik tingkat nasional, provinsi maupun tingkat Kabupaten tahun 2002 dan ditinjau kembali pada tahun 2011. Dari sisi Ekonomi, pemerintah pusat dan daerah pada 2012, memperoleh pendapatan atas lisensi perairan laut sebesar 9,68 miliar Yuan. Dari jumlah itu, 2,97 miliar Yuan masuk ke kas pusat dan 6,71 miliar Yuan mengalir ke kas daerah. “Contoh menarik lain adalah Norwegia, Tata ruang laut diatur alokasi ruang untuk perikanan tangkap, perikanan budidaya, tambang minyak dan gas bumi, alur pelayaran dan konservasi sehingga harmonis dan bersinergi serta tidak saling mengganggu,” ujarnya.

Sudirman menegaskan, penetapan zonasi wilayah pesisir merupakan bentuk tanggungjawab pemerintah untuk melindungi dan menciptakan keadilan di antara golongan masyarakat dalam mengakses sumberdaya di wilayah pesisir. Apalagi, perairan pesisir dan laut berlaku rejim ‘open acces’.  Praktiknya banyak terjadi permasalahan dan konflik kepentingan dalam pemanfaatannya wilayah pesisir. Bahkan, terjadi marginalisasi masyarakat pesisir, serta timbulnya dampak kerusakan terhadap lingkungan pesisir.  “Rejim open access tersebut, masyarakat nelayan tradisional dan masyarakat adat merupakan golongan masyarakat pesisir yang relatif rentan/lemah dalam berkompetisi untuk mengakses sumberdaya pesisir dan laut,” tandasnya.

Dalam penyusunan zonasi diperlukan akselerasi secara tepat dan cermat untuk mengatasi kendala-kendala utamanya seperti keterbatasan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia, keterbatasan penganggaran, kendala-kendala teknis, serta masih kurangnya sosialisasi. Dukungan dan kerjasama dari semua pihak baik di pusat maupun daerah sangat diperlukan. Termasuk, dukungan lintas sektor dari BKPRN (Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional), Bappeda dan Dinas Kelautan Perikanan, serta SKPD terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir serta antara Kelompok Kerja dengan BKPRD. “Tentunya juga tidak terlepas perlunya dukungan DPRD dalam pengalokasian anggaran untuk mengakselerasi Rencana Tata Ruang Wilayah atau RTRW dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil atau RZWP3K,” tutupnya.

Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi Anang Noegroho, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan

Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2013