Yogyakarta (ANTARA News) - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus kewenangan Komisi Yudisial (KY) untuk mengawasi hakim konstitusi dinilai cacat konstitusional. Karena itu, putusan MK harus dinyatakan tidak mengikat, kata Prof Dr Komariah Emong Sapardja, dalam diskusi tentang putusan MK dalam uji materiil Undang-undang KY, di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Kamis. MK dalam putusannya pada uji materiil UU KY di Jakarta 23 Agustus lalu menghapus kewenangan pengawasan KY terhadap hakim konstitusi, dengan menyarankan KY agar fokus pada tugas dan kewenangan menyeleksi calon hakim konstitusi. Pada diskusi itu para pembicara maupun peserta yang sebagian besar kalangan akademisi hukum menilai putusan MK nomor 003/PUU-IV/2006 kontra produktif dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di negeri ini. Sementara itu, Bambang Wijayanto dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan putusan MK tersebut kering filosofi keadilan, karena hanya mengotak-atik teks, dan ditambah sedikit konteks, sehingga belum mengakomodir politik hukum. "Yang terpenting bukan kepastian, tetapi keadilan hukum yang belum terakomodasi dengan baik," katanya. Ia mengemukakann putusan MK bertentangan dengan tren konvensi internasional tentang korupsi yang justru tidak dianut dalam keputusan MK ini. "Yang diputuskan MK justru berlawanan dengan suasana atau kondisi hukum saat ini," kata dia. Sedangkan Prof Dr Mahfud MD mengatakan seharusnya putusan MK lebih mementingkan politik hukum, yakni suasana yang melawan korupsi. "Tetapi, dengan putusan MK itu, semangatnya justru melemah," katanya. Sementara itu, Direktur Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Agung, Dr Marwan Effendi SH, menyatakan beberapa waktu lalu saat dilakukan pertemuan dengan 600 perwakilan DPRD se Indonesia, mereka justru terlihat bersemangat atau menyambut gembira putusan MK tersebut. "Ini sorga bagi para koruptor, karena sistem pembuktian korupsi menjadi sangat lemah, khususnya dalam implikasi sistem pembuktian tindak pidana korupsi," kata dia. (*)

Copyright © ANTARA 2006