Jakarta (ANTARA News) - Atraksi seni kuda lumping terancam punah karena kehilangan generasi penerus akibat minimnya pemasukan dan kurangnya biaya operasional, sementara banyak pemainnya sekarang terpaksa mencari pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup. "Sulit bagi kami untuk terus mengandalkan pemasukan keuangan dari hanya `manggung` kuda lumping," kata Ketua Grup Atraksi Seni Kuda Lumping Sopo Ngiro Tresnoku, Ran Slamet, di Jakarta, Kamis. Grup beranggotakan 20 orang yang dipimpinnya itu rata-rata hanya mendapat bayaran Rp350.000-Rp500.000 setiap kali pentas. Menurut dia, uang itu tidak sebanding dengan biaya operasional yang harus dikeluarkan, misalnya untuk ongkos transportasi ke tempat pentas, dana konsumsi pemain, biaya latihan, cuci kostum, uang kas, dan pemeliharaan alat yang semakin meningkat. "Biasanya bayaran itu sudah habis lebih dahulu. Dan kami terpaksa harus melakukan `saweran` kepada penonton," katanya. Apalagi, permintaan naik pentas dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Pada bulan-bulan ramai atau akhir tahun, jadwal naik pentas yang biasanya seminggu dua kali, sejak awal tahun ini telah turun menjadi rata-rata hanya empat kali sebulan, katanya. "Itu memaksa kami untuk mencari pekerjaan di tempat lain sehingga tidak sedikit anggota yang kemudian keluar karena pekerjaan barunya menjanjikan gaji yang lebih besar," katanya. Slamet mengatakan, dirinya khawatir jika anggota grup kuda lumping yang beralamat di Pinangranti, Jakarta Timur, itu satu per satu meninggalkan grup tersebut karena tuntutan kebutuhan hidup. Saat sepi pentas, pihaknya kerap berkeliling dari kampung ke kampung menawarkan akrobat-akrobat khas kuda lumping, misalnya makan beling, cambuk tubuh, dan barong. Untuk mengatasi itu, ia dan sejumlah anggota grup yang lain mengenalkan kesenian tersebut kepada anak-anak dengan melatih mereka bermain kuda lumping agar grup tersebut mempunyai generasi penerus. Namun usaha itu juga ditentang keras oleh sejumlah pihak dan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam perlindungan anak, katanya. "Kami dituduh telah melakukan kekerasan terhadap anak dan mengekspliotasi mereka untuk kepentingan bisnis," katanya. Padahal, upaya itu semata-mata dilakukan untuk mengenalkan mereka terhadap budaya nenek moyang, meski anak-anak harus dicambuk tubuhnya di depan penonton. Menurut dia, anak-anak harus mengenal budaya itu sejak dini karena jika dilatih saat usia remaja relatif tidak efektif. Hal itu karena sebagian besar dari mereka kini lebih menyukai musik-musik modern daripada kesenian tradisional. Senada dengan itu, Sam, salah satu anggota grup kuda lumping lain mengatakan, minat masyarakat untuk menonton kuda lumping sebenarnya masih besar ditandai dengan banyaknya penonton yang selalu hadir saat mereka pentas. "Hanya saja mereka sering lupa keberadaan kami sehingga mereka lebih tertarik `nanggap` musik dangdut," katanya. Ia mengatakan, perlu dukungan pemerintah untuk terus melestarikan kesenian tradisional khas Jawa itu. "Setidaknya beri kami bantuan agar bisa terus melestarikan kesenian ini," katanya. Menurut dia, pihaknya memerlukan setidaknya Rp5 juta per bulan untuk membiayai operasional sanggar/grup untuk keperluan latihan dan biaya hidup saat permintaan pentas sepi. Sebagian besar pekerja seni kuda lumping berasal dari daerah yang datang secara berombongan ke ibukota untuk mengadu nasib. Mereka rata-rata tinggal dalam satu rumah tipe 21 bersama anggota grup lain yang jumlahnya mencapai 20 orang. Santoso, anggota grup lain mengatakan, ingin mendapat kesempatan untuk pentas di istana negara sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap kelangsungan kesenian tersebut. Ia berharap, pemerintah lebih memperhatikan keberadaan seni kuda lumping dan mendukung upaya pelestariannya.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006