Mereka pasti paham kalau tertabrak ya mati, tapi kenyataannya toh mereka tidak mau peduli...
Jakarta (ANTARA News) - Beberapa penjaga palang pintu perlintasan kereta api di Jakarta mengeluhkan perilaku pengendara yang masih saja suka menerobos pintu perlintasan meski baru dua hari lalu satu Kereta Rel Listrik (KRL) tabrakan dengan truk minyak dan menyebabkan tujuh orang meninggal dunia.

"Wah enggak ngaruh tuh mas, asli, ya sama aja situasinya dari sebelum kecelakaan, yang nerobos masih banyak,"  kata Susanto, petugas penjaga pintu perlintasan kereta api Cipinang Lontar, Rabu.

"Kalau ada yang tertib malah diklaksonin habis-habisan sama supir dibelakangnya, aneh ya orang Indonesia," tambah dia.

Menurut dia, mayoritas pengguna jalan hanya akan lebih tertib jika ada polisi yang menjaga pintu perlintasan kereta api Cipinang Lontar, yang dikenal rawan macet karena ada pertigaan yang menghubungkan Jakarta dan Bekasi serta dekat dengan LP Cipinang.

"Menurut saya, masyarakat pengguna jalan roda dua sampai roda 16 lebih takut sama lampu merah karena ada polisi di sana (50 meter dari perlintasan ini ada lampu merah). Mereka enggak takut kalau menerobos palang pintu perlintasan, enggak takut juga sama kami," kata Susanto.

Ia mengatakan, jumlah pengguna jalan yang menerobos palang pintu perlintasan kereta api biasanya akan semakin banyak pada jam sibuk seperti pukul 06.00 sampai 09.00 pagi dan 16.00 sampai 20.00 malam. 

"Saya enggak bisa pastikan ini karena jumlah pengguna kendaraan yang makin banyak atau apa, tapi kok makin ke sini makin banyak yang melanggar, kayak sepelein nyawa gitu lho padahal nunggu cuma dua menit," katanya.


Sasaran kemarahan


Chalimi, penjaga pintu perlintasan kereta Stasiun Cakung, Jakarta Timur, bahkan beberapa kali dibentak oleh pengendara mobil yang menganggap dia menghambat laju kendaraan menutup pintu terlalu cepat.

"Ada supir ekpedisi ngamuk-ngamuk karena box truknya nyangkut pas pintu sudah setengah tertutup. Saya sudah teriak-teriak dari pos kalau ada kereta, eh dia malah ngotot. Galakan dia malah," kata Chalimi.

"Untung enggak kejadian kayak yang di Bintaro. Dia paksa jalan, untung pintunya kayu agak elastis, enggak patah, enggak ketabrak juga, " kata dia.

Chalimi mengatakan "marah dan dimarahi" para pengguna jalan di pintu perlintasan kereta Stasiun Cakung sudah menjadi hal yang biasa.

"Paling sering ribut sama supir angkot, dia ngetem-nya memang diujung, tapi kemacetannya sudah sampai pintu rel dan itu tiap hari berulang pagi, siang dan sore. Saya bilang jangan ngetem nanti macet malah dibentak 'bukan urusan elu'," katanya.

Padahal, Chalimi menjelaskan, kalau bel pintu otomatis sudah berbunyi maka tandanya kereta sudah dekat, sekitar 600 meter sampai satu kilometer dari perlintasan.

"Makanya kalau sudah bunyi ya berhenti, apalagi kalau sudah tertutup jangan dipaksa," katanya.

Rustandi, penjaga shift kedua di pintu perlintasan kereta Stasiun Cakung, menambahkan masyarakat tidak peduli bahaya menerobos palang pintu perlintasan kereta.

"Mereka pasti paham kalau tertabrak ya mati, tapi kenyataannya toh mereka tidak mau peduli. Kalau enggak percaya lihat saja perlintasan ini pas pagi atau sore," katanya.

"Bayangin aja mas, ini jalur ganda yang traffic-nya padat, sehari ada 276 perjalanan itu belum termasuk kereta khusus atau menjelang hari raya ya," katanya.

"Masyarakat harus tahu kalau pekerjaan kami bukan cuma ngurus jalanan, kami harus konsentrasi kasih arahan untuk kereta yang datang tiap lima sampai 15 menit sekali," jelas dia.


Pelajaran


Rustandi berharap kecelakaan KRL di perlintasan kereta Bintaro bisa menjadi pelajaran bagi masyarakat.

"Biar makin sadar kalau menerobos palang pintu urusannya sudah bukan lagi lecet-lecet tapi nyawa, tugas kami hanya menjaga pintu kalau masih dilanggar kami bisa apa?" tambahnya.

Namun tampaknya belum semua pengendara yang melewati perlintasan kereta mengambil pelajaran dari kejadian itu, beberapa pengendara masih saja menerobos pintu perlintasan kereta yang hampir menutup.

Beberapa pengendara yang kedapatan menerobos palang pintu perlintasan kereta api Stasiun Cakung beralasan hanya ingin cepat sampai dan merasa sudah biasa melewati jalur tersebut.

"Udah biasa lewat sini, sehari dua kali, pulang dan pergi," kata Romi, pelajar SMA yang tinggal di daerah Bintara, Bekasi.

"Ini kan stasiun, banyak penumpangnya, kalau enggak ngetem kapan kita bisa penuhi setoran?" kata Eko, Supir angkot O3 trayek Bintara-Kranji yang menunggu penumpang tak jauh dari perlintasan kereta

Pewarta:
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2013