Jakarta (ANTARA) - Dokter Spesialis Penyakit Dalam Alergi-Immunologi Klinik lulusan Universitas Indonesia mengatakan adanya kejadian sindrom trombosis dengan trombositopenia (thrombosis with thrombocytopenia syndrome/TTS) akibat vaksinasi perlu dikaji lebih dalam.

“Di Indonesia kejadian (TTS) saya enggak pernah dengar. Itu belum diteliti, mungkin yang TTS itu trombositnya turun. Belum ada juga penelitian soal hubungan TTS, vaksinasi pada genetika atau ras tertentu,” kata Prof. Dr. dr. Iris Rengganis, Sp. P. D, Subsp. A. I. (K), FINASIM yang ditemui ANTARA di Jakarta, Rabu.

Menanggapi ketakutan masyarakat akan jenis vaksin yang menyebabkan efek samping tertentu, Prof. Iris menuturkan kejadian ikutan pasca-vaksinasi (KIPI) memang dapat terjadi pada sejumlah orang tergantung dengan kondisi kesehatannya.

Meski demikian, kasusnya terbilang cukup jarang terjadi apalagi untuk kasus berat seperti TTS di Inggris. TTS sendiri merupakan penyakit yang menyebabkan penderita mengalami pembekuan darah serta trombosit darah yang rendah.

kBaca juga: Komnas KIPI: Vaksin AstraZeneca tak sebabkan pembekuan otak di RI

Baca juga: Komnas KIPI: TTS akibat vaksin AstraZeneca sangat langka


Iris mengatakan hingga hari ini baik pemerintah maupun para dokter juga masih menunggu laporan atas kasus tersebut serta melakukan pengawasan guna mencegah kasus serupa terjadi di Tanah Air.

Adanya penyakit yang diakibatkan oleh KIPI pun, katanya, baru dapat terlihat dalam jarak satu bulan usai mendapatkan vaksinasi. Jika penerima mengaku mengalami KIPI lewat dari batas waktu tersebut, Iris mengatakan ada kemungkinan hal itu disebabkan oleh penyakit lain.

Kalaupun memang masyarakat masih khawatir akan efek samping vaksin AstraZeneca usai kejadian tersebut, Iris menyarankan agar vaksinasi tetap dijalankan namun dengan menggunakan jenis lain seperti yang dibuat oleh Biofarma. Termasuk bila merasakan gejala-gejala KIPI untuk segera diperiksakan ke para ahli seperti dokter auto imun dan penyakit dalam lainnya.

“Kalau saya pribadi, kalau takut bisa pakai jenis lain, tapi dalam arti tetap divaksin. Jadi yang dihindari adenovirus termasuk Johnson and Johnson itu semua non-replicating viral vector, itu kan masih baru,” ujarnya yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia (PP PERALMUNI) itu.

Sebelumnya pada Rabu (1/5), Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI) Prof. Hinky Hindra Irawan Satari mengatakan tidak ada kejadian sindrom TTS setelah pemakaian vaksin COVID-19 AstraZeneca di Indonesia berdasarkan surveilans aktif dan pasif yang sampai saat ini masih dilakukan oleh Komnas KIPI.

Menurut dia keamanan distribusi vaksin terjamin karena sudah melalui berbagai tahapan uji klinis termasuk vaksin COVID-19 yang melibatkan jutaan orang, sampai dikeluarkannya izin edar.

Di samping itu, Komnas KIPI bersama Kemenkes dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) turut menerapkan rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk melakukan surveilans aktif terhadap berbagai macam gejala atau penyakit yang dicurigai ada keterkaitan dengan vaksin COVID-19 termasuk TTS.

Survei dilakukan di 14 rumah sakit di tujuh provinsi yang memenuhi kriteria selama lebih dari satu tahun. Namun berdasarkan laporan yang masuk, tidak ditemukan laporan kasus TTS.

“Selama setahun, bahkan lebih, kami amati dari Maret 2021 sampai Juli 2022. Kami lanjutkan lebih dari setahun karena tidak ada gejalanya, jadi kami lanjutkan beberapa bulan untuk juga supaya memenuhi kebutuhan jumlah sampel yang dibutuhkan untuk menyatakan ada atau tidak ada keterkaitan. Sampai kami perpanjang juga tidak ada TTS pada AstraZeneca,” katanya.

Sementara itu, laman Telegraph memberitakan bahwa AstraZeneca tengah menghadapi kasus gugatan perwakilan kelompok (class action) yang dilayangkan oleh 51 orang di Inggris, terkait tuduhan efek samping vaksin COVID-19 yang dikembangkannya bersama Universitas Oxford beberapa tahun lalu.

Dalam dokumen pengadilan tersebut, AstraZeneca mengakui bahwa vaksin COVID-19 buatannya menyebabkan efek samping yang cukup langka.

Sementara itu, penggunaan vaksin AstraZeneca yang berplatform non-replicating viral vector di Indonesia dilaporkan Kemenkes telah disuntikkan sebanyak 70 juta dosis dari total 453 juta dosis vaksin yang telah disuntikkan ke masyarakat.

Perusahaan farmasi AstraZeneca juga telah menarik vaksin COVID-19 yang diproduksinya menyusul kabar soal temuan kasus tersebut.

Baca juga: Komnas KIPI nyatakan Vaksin nOPV2 aman digunakan untuk cegah Polio

Baca juga: Bio Farma belum temukan KIPI selama uji klinis Vaksin COVID-19 BUMN

Baca juga: Dokter ungkap kemungkinan KIPI usai divaksin cacar monyet

 

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2024