Oleh Musthafa Luthfi Sana`a (ANTARA News) - Iran, Selasa (22/8), secara resmi menyampaikan respon tertulis atas paket tawaran Barat menyangkut program nuklirnya yang dinilai Teheran sebagai jawaban rinci dan komprehensif. Tanpa mendapat peliputan dari banyak media, Sekretaris Dewan Tinggi Keamanan Nasional Iran yang juga perunding senior nuklir negeri Mullah itu, Ali Larijani memanggil Duta Besar Cina, Inggris, Jerman, Prancis, Rusia dan Swiss, yang selama ini mengurus kepentingan AS, untuk menyampaikan jawaban itu. Pada intinya Teheran menolak penghentian pengayaan uranium di dalam negeri. Penolakan itu sifatnya tidak mutlak, akan tetapi dibarengi sejumlah pertanyaan tentang maksud tuntutan Barat tentang penghentian atau penundaan pengayaan tersebut. Anggota perunding nuklir Iran Mohamed Saidi menilai jawaban pemerintah Iran sangat menyeluruh dan dapat dijadikan sebagai pijakan bagi pelaksanaan perundingan baru untuk mencapai persetujuan final. Uni Eropa (EU) melalui Wakil Tertinggi Politik Luar Negeri Javer Solana menyatakan akan mempelajari jawaban tersebut secara rinci dan hati-hati. Sedangkan Liga Arab melalui pernyataan Sekjennya, Amr Moussa menilai penggunaan nuklir secara damai akan menciptakan kondisi lebih baik di kawasan. Sementara AS, seperti telah diduga sebelumnya menolak jawaban Teheran tersebut dan menilainya tidak memenuhi keinginan Dewan Keamanan (DK) PBB yang menuntut penghentian pengayaan uranium. Wakil tetap negeri adidaya itu di PBB, John Bulton menilai bahwa Iran tidak merespon syarat-syarat yang ditentukan negara-negara besar. Bahkan salah seorang arsitek serangan ke Irak ini mengancam dengan sanksi ekonomi lewat meja DK PBB. Teheran sendiri juga telah menyampaikan jawaban lain sehari setelah jawaban resmi tertulis tersebut yaitu uji coba roket darat ke laut untuk mengantisipasi segala kemungkinan demi mempertahankan haknya untuk mencapai teknologi nuklir damai. Beberapa hari sebelum jawaban resmi disampaikan, negeri Mullah itu juga telah berhasil menguji rudal darat ke darat dengan jangkauan sekitar 250 km dalam suatu manuver militer yang akan berlangsung di seluruh wilayah negeri itu. Kelihatannya tidak cukup sebatas itu, sehari setelah menyampaikan jawaban tertulis, negeri Persia itu juga mengeluarkan pernyataan tentang prestasi besar yang dicapai menyangkut program nuklirnya yang akan diumumkan beberapa hari mendatang. Perkembangan tersebut oleh banyak analis dinilai sebagai tekad salah satu negeri kawasan Teluk kaya minyak itu untuk meneruskan program nuklir damainya yang dijamin Badan Energi Atom Dunia (IAEA), namun dicurigai Barat dapat dimanfaatkan suatu saat untuk tujuan militer. Kartu "As" Kesiagaan Teheran untuk menghadapi segala kemungkinan akibat tekanan Barat tersebut oleh banyak pakar disebabkan Iran telah memegang sejumlah kartu penekan. Ibarat permainan kartu, Teheran sudah memegang beberapa kartu "As" yang siap dimanfaatkan bila akhirnya terdesak. Diantara kartu yang telah dipegang Iran adalah kemampuan negeri ini untuk merusak proyek AS di Irak, Libanon dan Afganistan. Selama ini kebijakan sikap netral Teheran, dinilai mampu melapangkan jalan bagi Washington untuk menjatuhkan rezim Irak dan Taliban di Afganistan. Iran dipandang juga mampu menciptakan destabilitas di kawasan vital yang menyimpan sekitar dua pertiga minyak dunia itu sebagaimana yang pernah dilakukan saat perang Irak-Iran pada 1980-1988. Bahkan Teheran lebih siap untuk melakukan hal tersebut saat ini menyusul prestasinya dalam mengembangkan industri persenjataan militer canggih termasuk memiliki kapal selam dan rudal jarak jauh. Iran juga memiliki kemampuan untuk menimbulkan kerugian dan korban besar di kalangan personil AS di Irak dan Afganistan, mengingat negeri itu berbatasan langsung dengan kedua negara. Sebanyak 140-an ribu personil negeri Pam Sam itu berada di Irak dan sekitar sepertiga dari jumlah tersebut di Afganistan akan menjadi target mudah bagi pasukan garda revolusi atau kelompok-kelompok bersenjata pro Iran di kedua negara tersebut. Tidak kalah pentingnya adalah peran Iran di Lebanon, yang dinilai cukup signifikan untuk mempengaruhi suhu politik di negeri tersebut. "Sanksi atas Iran bisa menyebabkan gencatan senjata berantakan di Libanon dan menjadikan negeri ini kacau," papar Prof. Abdul Bari Athwan seperti dikutip harian Al-Quds Al-Arabi, Rabu (23/8). Menurut salah satu pakar independen Arab itu, kemungkinan tersebut telah diperhitungkan Eropa terutama Prancis yang tadinya siap mengirimkan banyak pasukan akhirnya ragu-ragu. "Pemanfaatan gerakan perlawanan di Lebanon masih tetap menjadi skenario penting untuk menggagalkan proyek Timur Tengah (Timteng) baru yang dicanangkan AS dan Israel," papar Dr. Fawaz Al-Bashtari, pakar Arab dalam artikelnya di harian Al-Jumhuria, Rabu (23/8). Kartu lain yang mungkin bisa dimanfaatkan Iran adalah serangan "inisiatif", yang pada awalnya merupakan strategi AS ketika melawan --apa yang diklaimnya-- organisasi terorisme. Jangka panjang Di lain pihak, untuk memuluskan proyek Timteng baru, Washington bersama sekutu terdekatnya terutama Israel dan Inggris juga memiliki banyak opsi menghadapi Teheran, karena Iran dapat dijadikan target jangka panjang setelah urusan di Irak dan Afganistan beres. Diantara opsi yang telah mulai dijalankan adalah "kasak-kusuk" Inggris untuk menciptakan penyeimbang "poros radikal" Iran-Suriah-Hizbullah-Hammas dengan poros yang dinilai "moderat" yaitu Arab Saudi-Mesir-Yordania. PM Inggris Tony Blair, sekitar dua minggu lalu telah mengingatkan tentang berkembangnya "poros radikal" tersebut dan perlunya mendukung "poros moderat" untuk menghadapi poros radikal. Israel pun tidak tinggal diam, setelah mendapat "pelajaran berharga" dari gerakan perlawanan Hizbullah, menyatakan kesediaan untuk berunding dengan Suriah sebagai respon atas pidato Presiden Bashar Assad usai perang di Lebanon. Bahkan Tel Aviv telah menyiapkan tim perunding. Sejumlah pejabat tinggi dan media massa negeri Yahudi itu juga semakin nyaring menyuarakan tentang pengembalian wilayah dataran tinggi Golan ke Suriah sebagai imbalan agar Damaskus mendukung pelucutan senjata Hizbullah. Bila kebijakan "pemberian roti" kepada Damaskus gagal, Washington juga telah menyiapkan skenario pelucutan senjata lewat DK PBB. Karenanya, Presiden Bush dalam beberapa kesempatan selalu menyinggung perlunya resolusi baru untuk melucuti senjata gerakan perlawanan paling ditakuti Israel itu. "Barat terutama AS tidak ingin Hizbullah dimanfaatkan Teheran sebagai salah satu kartu penekan dalam perundingan isu nuklir nantinya," komentar analis Arab tentang tuntutan pelucutan senjata Hizbullah itu. Setelah rezim Saddam tumbang, sekarang giliran Suriah dan Iran yang dituduh sebagai batu sandungan. Bila Damaskus akhirnya bersedia menerima "roti" berupa pengembalian wilayah Golan sebagai imbalan pencabutan dukungan atas Hizbullah, maka Teheran akan terkucil. Tapi dengan sejumlah kartu "As" yang dimiliki, Teheran dipastikan sulit untuk ditaklukkan Barat, apalagi bila Damaskus akhirnya menolak "roti" dan di lain pihak Cina dan Rusia tetap komitmen melindungi kepentingannya di negeri Mullah itu. (*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006