Jakarta (ANTARA) - Lazimnya pusat keunggulan ketahanan air dan Iklim atau center of excellence (CoE) menghasilkan berbagai rekomendasi untuk menjawab persoalan terkait sesuatu hal yang menjadi fokusnya.

Begitu pun ketika World Water Forum ke-10 di Bali salah satu rekomendasinya adalah inisiasi Pusat Keunggulan Ketahanan Air dan Iklim di Asia Pasifik.

Maka harapan akan adanya pusat kepakaran yang akan menghasilkan berbagai solusi atas problematika tentang air bisa diwujudkan.

Faktanya memang World Water Forum ke-10 di Bali menggagas pembentukan Pusat Keunggulan Ketahanan Air dan Iklim atau Center of Excellence (CoE) on Water and Climate Resilience di kawasan Asia Pasifik.

Semua negara yang hadir dalam pertemuan itu menyelipkan harapan atas terbentuknya CoE ini kelak bisa menghasilkan platform kolaborasi bagi negara-negara di dunia belahan selatan yang sering mengalami masalah kebencanaan terkait dengan air dan pengelolaannya.

Lebih dari itu, CoE ini pun diharapkan bukan sekadar menjadi semacam menara gading yang berbagai outputnya tidak dibumikan.

Sebaliknya rekomendasi dan hasil kajiannya memberikan jalan keluar yang konkret untuk memitigasi bencana hidrologi, sekaligus menjadikan air sebagai sumber kesejahteraan yang menghidupi.

Sebagaimana disampaikan Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam Special Session 9 World Water Forum ke-10 di Bali yang menyebutkan, kolaborasi dan kemitraan adalah hal yang terpenting dalam mewujudkan dan membumikan CoE.

Hal inilah yang mendorong mau tidak mau CoE yang dibentuk itu memang harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, sektor swasta, dan kalangan akademisi.

Dwikorita berpendapat bahwa kemitraan menjadi kunci yang sangat penting untuk dapat mengoptimalkan dan memanfaatkan beragam sumber daya, keahlian, dan teknologi yang diperlukan agar CoE itu mampu mengatasi berbagai masalah terkait air dan iklim secara efektif.

Lebih lanjut, sebagai negara kepulauan, Indonesia semestinya memang berada di garda paling depan dalam menghadapi tantangan lingkungan dan iklim ini.

Hal itu, mengingat memang banyak tantangan yang dihadapi Indonesia dalam 30 tahun terakhir, termasuk untuk dapat menemukan solusi terbaik dalam mengatasi krisis air.

Maka Indonesia terus mengembangkan inovasi teknologi dan melakukan penelitian yang berkelanjutan, sehingga negara kita sebenarnya juga sudah sangat siap untuk terlibat dalam CoE terkait ketahanan air.

Sebelumnya, Staf Ahli Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Bidang Teknologi, Industri, dan Lingkungan Endra S. Atmawidjaja mengatakan bahwa CoE menjadi jawaban dari tantangan iklim yang dihadapi dunia saat ini.

Endra mengatakan bahwa dalam pendirian CoE itu, Indonesia akan menyasar penguatan kerja sama Selatan-Selatan atau South-South Cooperation (SSC).

Melalui CoE, negara-negara Selatan yang memiliki masalah terkait banjir, sedimen akibat erupsi yang merusak sungai, dan masalah pengelolaan air lainnya akan saling mengedukasi, bertukar pikiran, serta berbagi pengalaman untuk mencari solusi terbaik yang dapat diimplementasikan secara nyata.

Jadi, sebenarnya pusat keunggulan dan ketahanan air ini menjadi peluang bagi terbentuknya wadah sebagai jawaban dari tantangan iklim yang dihadapi oleh umat manusia sekarang di dunia.


Melatih kepakaran

Setiap negara sebenarnya sudah memiliki CoE di bidang air masing-masing, misalnya Indonesia dengan CoE Weather and Climate yang fokus untuk melatih kepakaran dalam bidang sumber daya manusia dan mendapatkan dukungan dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).

Sementara itu lebih dari 13 tahun juga sudah ada Sabo Center di Jepang, di mana teknologi Sabo diperkenalkan kepada pakar-pakar muda di bidang terkait di Asia Pasifik dan Afrika.

Sabo berasal dari dua kata dalam bahasa Jepang, yaitu “sa” yang berarti pasir dan “bo” yang berarti pengendalian.

Teknologi sabo adalah suatu teknik yang digunakan untuk mengantisipasi aliran debris (tumpukan pecahan batu atau reruntuhan akibat erosi) dan pengendalian sedimen dalam suatu bentang alam, khususnya sungai pada gunung.

Dalam konteks yang serupa, CoE Ketahanan Air diinisiasi bukan hanya sebagai bangunan fisik, melainkan hub koordinasi multi-pihak terkait air dan iklim. Lebih lanjut, kesepakatan itu merupakan sebuah aliansi yang akan menghubungkan berbagai pusat unggulan yang sudah ada, tetapi belum terkoordinasi dengan baik.

Saat ini harus diakui bahwa memang sudah banyak pusat unggulan di berbagai negara, termasuk Indonesia, yang fokus pada pelatihan sumber daya manusia.

Hanya saja, kurangnya koneksi antarpusat ini menghambat penanganan masalah air dan iklim secara optimal. CoE bertujuan untuk meningkatkan kolaborasi dan koordinasi antara satu negara dengan negara lainnya.

Bahkan, di dunia, banyak pusat keunggulan yang melakukan berbagai langkah berbasis sains, teknologi, dan politik untuk mengatasi krisis air, namun persoalan yang harus diselesaikan masih banyak. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi di tingkat global, regional, dan nasional.

CoE yang digagas di World Water Forum ke-10 ini mestinya bisa menjadi platform kolaborasi bagi negara-negara di belahan selatan dunia yang kerap kali mengalami masalah terkait air.

Inisiatif akan adanya CoE ini juga setidaknya menjadi bentuk konkret “oleh-oleh” World Water Forum ke-10 di Bali agar pertemuan tingkat tinggi itu tidak sekadar sebagai seremoni, melainkan ada langkah nyata untuk menyelamatkan air sebagai sumber kehidupan semua makhluk di Bumi ini.

Apalagi mengingat perlunya merekayasa air dengan teknologi terkini yang terus berkembang, maka eksistensi platform yang mewadahi para pakar di bidang terkait air menjadi urgensi tersendiri.
 

Copyright © ANTARA 2024