Semarang (ANTARA) - Meski mempunyai hak prerogatif, presiden dalam pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara tetap dalam koridor konstitusi.

Bab kementerian negara ini sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Disebutkan dalam Pasal 17 ayat (4) bahwa pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.

Sementara itu, DPR RI bersama Pemerintah berencana merevisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Bahkan, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI telah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi RUU usul inisiatif DPR.

Terdapat beberapa poin yang diatur dalam RUU Kementerian Negara dan telah disepakati melalui musyawarah mufakat di Baleg DPR RI, antara lain:
(1) Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara mengenai pengangkatan wakil menteri dihapus;
(2) Perubahan Pasal 15 UU Kementerian Negara mengenai jumlah kementerian paling banyak 34, menjadi "ditetapkan sesuai dengan kebutuhan presiden dengan memperhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan"; dan
(3) Penambahan ketentuan mengenai tugas pemantauan dan peninjauan undang-undang di ketentuan penutup.

Namun, di tengah proses revisi UU Kementerian Negara, Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) mengajukan uji materi UU Kementerian Negara terhadap UUD NRI Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). APHA meminta pemerintahan baru membentuk Kementerian Urusan Masyarakat Hukum Adat.

APHA yang diwakili oleh Prof. Dr. Laksanto Utomo, S.H., M.H. (Ketua Umum) dan Dr. Rina Yulianti, S.H., M.H. (Sekretaris Jenderal) melalui kuasanya Viktor Santosa Tandiasa dan Tim VST and Partners yang terdiri atas Fitri Utami, Fauzi Muhammad Azhar, dan Aditya Ramadhan Harahap telah resmi mengajukan permohonan judicial review ke MK untuk menguji UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara pada tanggal 20 Mei 2024. Berkas permohonan secara daring ini dengan Nomor 62/PAN.ONLINE/2024.

Dalam permohonannya, pemohon menguji Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang dianggap bertentangan terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Pada permohonan tersebut, pemohon pada pokoknya meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk menambahkan frasa "Masyarakat Hukum Adat" dalam Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 2008 sehingga bunyi pasalnya menjadi "Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b meliputi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, masyarakat hukum adat, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan".

Adapun yang menjadi alasan dalam permohonan pengujian Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 2008 adalah untuk menguatkan kedudukan masyarakat hukum adat yang merupakan bagian dari rakyat asli bangsa Indonesia sebagai pemegang kedaulatan tertinggi untuk menyalurkan kehendak dan aspirasinya dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

Penguatan terhadap masyarakat hukum adat ini perlu diupayakan mengingat eksistensi masyarakat hukum adat hingga saat ini malah makin termarginalkan, tidak serius diurus, bahkan kerap menjadi korban kekerasan negara yang secara masif mengambil lahan-lahan yang dari awalnya dikuasai dan didiami oleh kelompok-kelompok masyarakat adat.

Terlebih apabila menilik dalam aspek kelembagaan, urusan pemerintahan yang bersinggungan mengenai hak-hak masyarakat adat masih melibatkan berbagai lintas sektoral yang meliputi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Dalam Negeri.

Diterapkannya sistem multi-pintu seperti saat ini yang mengatur mengenai urusan masyarakat adat berdampak pada adanya tumpang tindih atas kebijakan yang dikeluarkan oleh masing-masing kementerian. Misalnya, antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengenai status tanah hutan adat.

Padahal, kata Viktor Santosa Tandiasa, Pasal 18B Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 telah mengamanatkan bahwa "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang."

Dalam pasal tersebut, telah memberikan penegasan bahwa negara seharusnya memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat serta menjamin agar hak-hak masyarakat adat dapat terlindungi dan terpenuhi oleh hukum.

Dengan demikian, pembentukan kementerian masyarakat hukum adat merupakan salah satu langkah progresif dalam memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat.

Tidak masuknya frasa "masyarakat hukum adat" sebagai salah satu urusan pemerintahan dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara menyebabkan tidak dibentuknya kementerian khusus yang mengurusi urusan pemerintahan masyarakat hukum adat.

Hal ini, masih kata Viktor, lantas menimbulkan permasalahan dan perlakukan diskriminatif serta jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi atau intolerable.

Selain itu, juga bertentangan dengan kedaulatan rakyat in casu (dalam hal ini) kedaulatan masyarakat hukum adat dan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 in casu Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1).

Sementara itu, jadwal pelantikan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI pada tanggal 20 Oktober 2024.


Editor: Achmad Zaenal M

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024