Kalau sesuai pasal 33 dalam undang-undang, gas bumi diperuntukan bagi kesejahteraan masyarakat. Namun, ini bukan gas bumi asli dalam negeri tapi semuanya masih berlabel impor."
Surabaya (ANTARA News) - Pakar ekonomi dari Universitas Katolik Widya Kartika Surabaya, Murpin Josua Sembiring, mengimbau, agar PT Pertamina (Persero) lebih transparan tentang biaya pokok jual (gas cair) elpiji kepada masyarakat.

"Pertamina harus lebih terbuka. Apalagi, tiap tabung elpiji itu kan ada biaya pemeliharaan untuk tera ulang sehingga tentu ada pembiayaan pokok jualnya," katanya, dihubungi dari Surabaya, Senin.

Namun, ungkap dia, di daerah yang punya SPBE justru biaya pokok jual gas tersebut tidak ada bedanya. Padahal, harga gas itu bisa lebih murah tetapi pemberlakuan harganya disamakan.

"Sementara, penerapan harga ini semestinya ditentukan pula oleh jangkauan ke masyarakat," ujarnya.

Di sisi lain, jelas dia, keputusan Pertamina terkait kenaikan harga elpiji 12 kilogram tersebut dilakukan setelah adanya persetujuan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) perusahaan. Tapi, hasil dari keputusan pemerintah yang memunculkan adanya koreksi kenaikan harga dinilai kurang peka dengan kondisi rakyatnya.

"Padahal sebagai perusahaan modern, Pertamina wajib melakukan analisa-analisa seperti di negara lain. Misalnya tentang perpindahan BBM ke gas alam," katanya.

Akan tetapi, tambah dia, permasalahan terbesar yang tampak di dalam negeri adalah 80 persen pemenuhan kebutuhan gas di Indonesia diperoleh secara impor.

"Kalau sesuai pasal 33 dalam undang-undang, gas bumi diperuntukan bagi kesejahteraan masyarakat. Namun, ini bukan gas bumi asli dalam negeri tapi semuanya masih berlabel impor," katanya.

Sampai sekarang, kata dia, sekitar 31persen dalam struktur pengelolaan gas di Tanah Air dikuasai kontraktor asing. Sementara hak kelola Pertamina hanya 12 persen sehingga kemampuan Indonesia untuk mengeksplor gas alam tidak berkembang.

"Akibatnya, selama ini Indonesia hanya menjadi negara pengimpor gas," tegasnya.

Di samping itu, lanjut dia, masyarakat di penjuru Nusantara semakin tidak percaya terhadap kinerja pemerintah khususnya Pertamina yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam pengelolaan gas.

"Belum lagi, kini Pertamina sedang menyiapkan dana tertentu untuk membangun tower yang rencananya paling tinggi se-Asia Tenggara," katanya. (*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014