Jakarta (ANTARA News) - Organisasi lingkungan hidup Greenpeace Indonesia menolak rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Batang, Semarang, karena PLTU ini disebut mereka akan menggunakan batu bara.

"Sudah menjadi konsesus internasional bahwa saat ini ancaman terbesar adalah perubahan iklim. Batu bara merupakan kontributor terbesar gas rumah kaca penyebab perubahan iklim," kata Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Arif Fiyanto di kantor Greenpeace, siang ini.

Pembangunan PLTU 2 x 1.000 megawatt ini semula akan dimulai Oktober 2013, namun tertunda akibat masalah pembebasan lahan warga.

PT Bhimasena Power Indonesia, investor proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap di Kabupaten Batang, menargetkan penyelesaian proses pembebasan seluruh lahan seluas 226 hektare yang terkena proyek berskala nasional pada Februari dan Juni 2014.

Arif khawatir, pembangunan PLTU tersebut akan berdampak pada lingkungan dan dalam laporannya pembangkit tersebut akan mengeluarkan sekitar 10,8 juta ton karbon dan 226 kg merkuri setiap tahun.

"Jika dibangun, jelas bertentangan dengan komitmen Presiden untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari Indonesia, 26 persen pada 2020," ungkapnya.

Greenpeace bekerjasama dengan YLBHI dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) melakukan pendampingan terhadap warga Batang selama beberapa tahun terakhir.

"Sikap warga sejak dulu menolak pembangunan karena mereka merasa lokasi hidup sudah cukup untuk menyejahterakan mereka," kata Arif.

Roidhi, warga desa Karanggeneng menyatakan keberatannya karena lahan yang akan dijadikan PLTU merupakan lahan pertanian produktif.

"Persawahan merupakan sumber pokok ekonomi daerah ini. Kalau PLTU tetap dibangun, ribuan warga akan kehilangan mata pencaharian sehari-hari," katanya.

Direktut PT Bhimasena Power Indonesia Muhammad Effendi bulan lalu mengatakan masih ada 15 persen lahan yang harus dibebaskan, sedangkan Greenpeace Indonesia mencatat masih 35 persen atau sekitar 70 hektare lahan warga yang belum dibebaskan.

Greenpeace mengimbau investor membatalkan pendanaan pembangunan proyek tersebut dan meminta pemerintah untuk beralih ke sumber energi non fosil seperti angin, tenaga surya, dan panas bumi.

"Indonesia potensi panas bumi terbesar di dunia, sekitar 28.000 megawatt. Data terakhir dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, yang sudah dimanfaatkan hanya sekitar 1.500 megawatt," katanya.

Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2014